Hukum muamalah memiliki peranan penting bagi kehidupan
manusia. Disetiap aspek kehidupan yang berhubungan dengan masalah ekonomi harus
diatur dengan baik yaitu dengan adanya hukum muamalah sehingga diri kita tak
perlu khawatir lagi terhadap penipuan – penipuan apapun. Setiap hari kita dapat
menyaksikan banyak orang yang melakukan transaksi jual beli ditempat – tempat
umum seperti pasar. Dalam transaksi jual beli kita melihat , bahwa masih ada
orang yang tidak berbuat jujur. Mereka merugikan orang lain demi meraut
keuntungan yang diperoleh dengan cara yang tidak benar, bahkan dari segi
material biaya yang telah banyak di keluarkan untuk memperoleh suatu barang
yang diinginkan , namun mereka masih saja merugikan orang lain dengan cara
menaikan harga barang dari harga sebenarnya . Disinilah kita dapat
mengkomparasi, betapa hukum muamalah itu sangatlah penting untuk diterapkan
dalam kehidupan bermasyarakat.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka timbul permasalahan yang merupakan
titik fokus akan penyelesaian makalah ini yang di rumuskan sebagai berikut :
Bagaimanakah
bentuk dari prinsip – prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam bermuamalah?
Bagaimanakah
proses terjadinya transaksi jual beli?
Bagaimana langkah
yang dilakukan agar jual beli tidak menjadi riba?
Bagaimana bentuk
pembagian syirkah?
C.Tujuan
Kami sebagai penulis mengangkat judul Hukum Islam Tentang Muamalah. Bertujuan
agar pembaca dapat mengetahui pentingnya mengatur hubungan antar sesama manusia
yang menyangkut ekonomi dan bisnis.
Selain itu pembaca juga dapat mengetahui bagaimana besarnya peranan masyarakat
dalam melaksakan Hukum Islam Tentang Muamalah.
D.Metode
Pengumpulan Data
Metode yang kami gunakan dalam menyelasaikan masalah ini, sangatlah sederhana
di mana cara kami memecahkan rumusan masalah tersebut hanya berdasarkan
pencarian data dan informasi melalui beberapa refereasi.
Kemudian kami melakukan kajian pustaka terhadap refereasi tersebut dengan
mengambil inti sari yang berkaitan dengan rumusan masalah tersebut lalu kami
susun secara sistematis dalam tulisan ini.
Bab II Pembahasan
A.Pengertian
Hukum Muamalah
Muamalah
merupakan aspek hukum islam yang bukan termasuk kategori ibadah, seperti
shalat, dan haji biasa disebut muamalah. Muamalah dalam arti khusus mengenai
urusan ekonomi dan bisnis dalam islam.
Dalam
Al-Qur’an atau hadist terdapat beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan
dalam bermuamalah. Prinsip – prinsip dasar yang dimaksudkan, yaitu sebagai
berikut :
Ø Asas suka sama suka, yaitu kerelaan yang
sebenarnya, bukan kerelaan yang bersifat semu dan seketika. Oleh karena itu,
Rasulullah mengharamkan ba’ilal garar ( jual beli yang mengandung unsur
spekulasi dan penipuan ).
Ø Asas keadilan, yaitu adanya
keseimbangan, baik produksi, cara memperolehnya, maupun distribusinya.
Ø Asas saling menguntungkan, yaitu
tidak ada satu pihak yang dirugikan.
Ø Asas saling menolong dan saling
membantu.
B.Jual
Beli
A.Pengertian
jual beli
Jual beli dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata yang mengandung makna
berlawanan yaitu Al Bai’ yang artinya jual dan Asy Syira’a yang artinya Beli.
Menurut istilah hukum Syara, jual beli adalah penukaran harta (dalam pengertian
luas) atas dasar saling rela atau tukar menukar suatu benda (barang) yang
dilakukan antara dua pihak dengan kesepakatan (akad) tertentu atas dasar suka
sama suka (lihat QS Az Zumar : 39, At Taubah : 103, hud : 93)
1. Hukum Jual Beli
Orang yang terjun dalam bidang usaha jual beli harus
mengetahui hukum jual beli agar dalam jual beli tersebut tidak ada yang
dirugikan, baik dari pihak penjual maupun pihak pembeli. Jual beli hukumnya
mubah. Artinya, hal tersebut diperbolehkan sepanjang suka sama suka. Allah
berfirman.
Artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara
kamu.”(QS An Nisa : 29
Hadis nabi Muhammad SAW menyatakan sebagai berikut.
ﺇﻨﻤﺎ
ﺍﻟﺒﻴﻊ ﺗﺮﺍﺩ ( ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺒﺨﺎﺮﻯ)
Artinya
: “Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka suka sama suka.” (HR Bukhari)
ﺃﻠﺒﻴﻌﺎﻥ
ﺑﺎ ﻟﺨﻴﺎﺭ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻴﺘﻔﺮﻗﺎ ( ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺒﺨﺎﺮﻯ ﻭ ﻤﺴﻠﻢ)
Artinya : “ Dua orang jual beli
boleh memilih akan meneruskan jual beli mereka atau tidak, selama keduanya
belum berpisah dari tempat akad.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila
seseorang melakukan jual beli dan tawar menawar dan tidak ada kesesuaian harga
antara penjual dan pembeli, si pembeli boleh memilih akan meneruskan jual beli
tersebut atau tidak. Apabila akad (kesepakatan) jual beli telah dilaksanakan
dan terjadi pembayaran, kemudian salah satu dari mereka atau keduanya telah
meninggalkan tempat akad, keduanya tidak boleh membatalkan jual beli yang telah
disepakatinya.
2. Rukun dan syarat Jual
Beli
Dalam pelaksanaan jual beli, minimal ada tiga rukun yang
perlu dipenuhi.
a. Penjual atau pembeli harus dalam
keadaan sehat akalnya
Orang
gila tidak sah jual belinya. Penjual atau pembeli melakukan jual beli dengan
kehendak sendiri, tidak ada paksaan kepada keduanya, atau salah satu diantara
keduanya. Apabila ada paksaan, jual beli tersebut tidak sah.
b. Syarat Ijab dan Kabul
Ijab
adalah perkataan untuk menjual atau transaksi menyerahkan, misalnya saya
menjual mobil ini dengan harga 25 juta rupiah. Kabul adalah ucapan si pembeli
sebagai jawaban dari perkataan si penjual, misalnya saya membeli mobil ini
dengan harga 25 juta rupiah. Sebelum akad terjadi, biasanya telah terjadi
proses tawar menawar terlebih dulu.
Pernyataan ijab kabul tidak harus menggunakan kata-kata
khusus. Yang diperlukan ijab kabul adalah saling rela (ridha) yang
direalisasikan dalam bentuk kata-kata.
c. Benda yang diperjualbelikan
Barang yang diperjualbelikan harus
memenuhi sarat sebagai berikut :
1) Suci atau bersih dan halal barangnya
2) Barang yang diperjualbelikan
harus diteliti lebih dulu
3) Barang yang diperjualbelikan
tidak berada dalam proses penawaran dengan orang lain
4) Barang yang dijual adalah milik
sendiri atau yang diberi kuasa
3. Khiar
Khiar artinya boleh memilih satu diantara dua yaitu
meneruskan kesepakatan (akad) jual beli atau mengurungkannya (menarik kembali
atau tidak jadi melakukan transaksi jual beli). Ada empat macam khiar yaitu
sebagai berikut.
1)
Khiyar syart, yaitu hak khiyar yang terjadi jika tidak terpenuhinya syarat yang
telah disetujui.
2)
Khiyar ru’yah, yaitu terjadi jika barang yang dimaksud belum dilihat secara
jelas oleh pembeli.
3)
Khiyar sifah, yaitu hak khiyar yang terjadi jika sifat yang disetujui tidak
dipenuhi.
4)
Khiyar ‘aib, yaitu khiyar yang terjadi jika ada cacat dalam barang atau harga
yang di serahkan.
C. Riba
Kata riba (ar riba) menurut bahasa yaitu tambahan (az
ziyadah) atau kelebihan. Riba menurut istilah syarak ialah suatu akad
perjanjian yang terjadi dalam tukar menukar suatu barang yang tidak diketahui
syaraknya. Atau dalam tukar menukar itu disyaratkan menerima salah satu dari
dua barang apabila terlambat. Riba dapat terjadi pada hutang piutang, pinjaman,
gadai, atau sewa menyewa. Contohnya, Fauzi meminjam uang sebesar Rp 10.000 pada
hari senin. Disepakati dalam setiap satu hari keterlambatan, Fauzi harus
mengembalikan uang tersebut dengan tambahan 2 %. Jadi hari berikutnya Fauzi
harus mengembalikan hutangnya menjadi Rp 10.200. Kelebihan atau tambahan ini disebut
dengan riba.
Beberapa ayat dan hadis yang telah disebutkan menunjukan
bahwa Islam sangat membenci perbuatan riba dan menganjurkan kepada umatnya agar
didalam mencari rezeki hendaknya menempuh cara yang halal.
Ulama fikih membagi riba menjadi empat bagian, yaitu sebagai
berikut.
1. Riba fadli
Riba fadal
yaitu, tukar menukar dua buah barang yang sama jenisnya, namun tidak sama
ukurannya yang disyaratkan oleh orang yang menukarnya.
2. Riba nas’i
Riba
nasiah yaitu, tambahan yang terjadi akibat keterlambatan penyerahan barang.
Contohnya, salim membeli arloji seharga Rp 500.000. Oleh penjualnya disyaratkan
membayarnya tahun depan dengan harga Rp 525.000
3. Riba yardi
Riba
yad yaitu, tambahan setelah terjadi perpindahan tangan baik sebelum atau
sesudah adanya perjanjian. Misalnya, orang yang membeli suatu barang sebelum ia
menerima barang tersebut dari penjual, penjual dan pembeli tersebut telah
berpisah sebelum serah terima barang itu. Jual beli ini dinamakan riba yad.
4.
Riba qardhi
Riba
qardhi yaitu, pinjam meminjamkan sesuatu kepada orang lain dengan syarat pada
saat mengembalikannya harus diberikan kelebihan atau tambahan yang merupakan
keuntungan.
Berikut
syarat-syarat jual beli agar tidak menjadi riba.
a.
Menjual sesuatu yang sejenis ada tiga syarat, yaitu:
1) serupa timbangan dan banyaknya
2) tunai, dan
3) timbang terima dalam akad (ijab
kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
b. Menjual sesuatu yang berlainan
jenis ada dua syarat, yaitu:
1) tunai dan
2) timbang terima dalam akad (ijab
kabul) sebelum meninggalkan majelis akad.
Riba diharamkan oleh semua agama samawi. Adapun sebab
diharamkannya karena memiliki bahaya yang sangat besar antara lain sebagai
berikut.
1.
Riba dapat menimbulkan permusuhan antar pribadi dan mengikis habis semangat
kerja sama atau saling menolong sesama manusia. Padahal, semua agama, terutama
Islam menyeru kepada manusia untuk saling tolong menolong, membenci orang yang
mengutamakan kepentingan diri sendiri atau egois, serta orang yang
mengeksploitasi orang lain.
2.
Riba dapat menimbulkan tumbuh suburnya mental pemboros yang tidak mau bekerja
keras dan penimbun harta di tangan satu pihak. Islam menghargai kerja keras dan
menghormati orang yang suka bekerja keras sebagai saran pencarian nafkah.
3.
Riba merupakan salah satu bentuk penjajahan atau perbudakan dimana satu pihak
mengeksploitasi pihak yang lain.
4.
Sifat riba sangat buruk sehingga Islam menyerukan agar manusia suka mendermakan
harta kepada saudaranya dengan baik jika saudaranya membutuhkan harta.
D. Hukum Islam tentang Kerja
sama Ekonomi (Syirkah)
Saat ini umat Islam Indonesia, demikian juga belahan dunia
Islam (muslim world) lainnya telah menerapkan sistem perekonomian yang berbasis
nilai-nilai dan prinsip syariah (Islamic economic system) untuk dapat
diterapkan dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi ekonomi umat.
Keinginan ini didasari oleh kesadaran untuk menerapkan Islam secara utuh dan
total.
1. Pengertian Syirkah
Syirkah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi
dana atau amal (expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
a. Syarat-syarat syirkah
Dalam
bersyarikah ada 5 syarat yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut.
1) Benda (harta dinilai dengan uang)
2) Harta-harta itu sesuai dalam
jenis dan macamnya
3) Harta-harta dicampur
4) Satu sama lain membolehkan untuk
membelanjakan harta itu
5) Untung rugi diterima dengan
ukuran harta masing-masing.
b. Jenis-jenis syirkah
Ada
dua jenis syirkah yakni syirkah pemilikan dan syirkah akad (kontrak)
1) Syirkah pemilikan tercipta karena
warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset
oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau
lebih, berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula keuntungan yang dihasilkan
oleh aset tersebut.
2) Musyarakah akad tercipta dengan
cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari
mereka memberikan modal musyarakah. Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan
kerugian.
E. Mudarabah (bagi hasil)
Mudarabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama (sahibul mal) menyediakan seluruh (100 %) modal, sedangkan
pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudarabah dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi
ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si
pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian
si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
1. Jenis-jenis mudarabah
Secara umum, mudarabah terbagi menjadi dua jenis yakni
mudarabah mutlaqah dan mudarabah muqayyadah.
a.
Mudarabah mutlaqah
Mudarabah mutlaqah adalah bentuk kerjasama antara pemilik
modal (sahibul mal) dan pengelola (mudarib) yang cakupannya sangat luas dan
tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam
pembahasan fikih ulama salafus saleh seringkali dicontohkan dengan ungkapan
if’al ma syi’ta (lakukan sesukamu) dari sahibul mal ke mudarib yang memberi
kekuasaan sangat besar.
b. Mudarabah Muqayyadah
Mudarabah muqayyadah adalah kebalikan dari mudarabah
mutlaqah. Si Mudarib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat
usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si
Sahibul Mal dalam memasuki jenis dunia usaha.
F. Perbankan yang Sesuai dengan
Prinsip Hukum Islam
Lahirnya ekonomi Islam di zaman modern ini cukup unik dalam
sejarah perkembangan ekonomi. Ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi-ekonomi yang
lain karena lahir atau berasal dari ajaran Islam yang mengharamkan riba dan
menganjurkan sedekah. Kesadaran tentang larangan riba telah menimbulkan gagasan
pembentukan suatu bank Islam pada dasawarsa kedua abad ke-20 diantaranya melalui
pendirian institusi sebagai berikut.
1. Bank Pedesaan (Rural Bank) dan
Bank Mir-Ghammar di Mesir tahun 1963 atas prakarsa seorang cendikiawan Mesir
DR. Ahmad An Najjar
2. Dubai Islamic Bank (1973) di
kawasan negara-negara Emirat Arab
3. Islamic Development Bank (1975)
di Saudi Arabia
4. Faisal Islamic Bank (1977) di
Mesir
5. Kuwait House of Finance di Kuwait
(1977)
6. Jordan Islamic Bank di Yordania
(1978)
Bank syariah pertama yang beroperasi di Indonesia adalah PT.
Bank Muamalat Indonesia (BMI) berdiri pada tanggal 1 mei 1992. Perkembangan
perbankan syariah pada awalnya berjalan lebih lambat dibanding dengan Bank
konvensional. Sampai dengan tahun 1998 hanya terdapat 1 Bank Umum Syariah dan
78 BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah). Berdasarkan statistik perbankan
syariah mei 2003 dari Bank Indonesia tercatat, Bank Umum Syariah 2 yaitu BMI
dan Bank Syariah Mandiri, 8 Bank umum yang membuka unit atau kantor cabang
syariah yaitu Danamon Syariah, Jabar Syariah, Bukopin Syariah, BII Syariah dll,
serta 89 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Beberapa bank konvensional
dalam negeri, maupun asing yang beroperasi di Indonesia juga telah mengajukan
izin dan menyiapkan diri untuk segera beroperasi menjadi Bank Syariah.
Kehadiran Bank Syariah memiliki hikmah yang cukup besar,
diantaranya sebagai berikut.
1. Umat Islam yang berpendirian
bahwa bunga Bank konvensional adalah riba, maka Bank Syariah menjadi alternatif
untuk menyimpan uangnya.
2. Untuk menyelamatkan umat Islam
dari praktik bunga yang mengandung unsur pemerasan (eksploitasi) dari si kaya
terhadap si miskin atau orang yang kuat ekonominya terhadap yang lemah
ekonominya.
3. Untuk menyelamatkan
ketergantungan umat Islam terhadap Bank non Islam yang menyebabkan umat Islam
berada dibawah kekuasaan Bank sehingga umat Islam belum bisa menerapkan ajaran
agamanya dalam kehidupan pribadi dan masyarakat, terutama dalam kegiatan bsinis
dan perekonomiannya
G. Sistem Asuransi yang Sesuai dengan Prinsip Hukum Islam
Asuransi pada umumnya, termasuk asuransi jiwa, menurut
pandangan Islam adalah termasuk masalah ijtihadiyah. Artinya, masalah tersebut
perlu dikaji hukumnya karena tidak ada penjelasan yang mendalam didalam Al
Qur’an atau hadis secara tersurat. Para imam mazhab seperti Imam Hanafi, Imam
Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan ulama mujtahidin lainnya yang semasa dengan
mereka (abad II dan III H atau VIII dan IX M) tidak memberi fatwa hukum
terhadap masalah asuransi karena hal tersebut belum dikenal pada waktu itu.
Sistem asuransi di dunia Islam baru dikenal pada abad XIX M, sedangkan di dunia
barat sudah dikenal sejak sekitar abad XIV M,.
Kini umat Islam di Indonesia dihadapkan kepada masalah
asuransi dalam berbagai bentuknya (asuransi jiwa, asuransi kecelakaan, dan
asuransi kesehatan) dan dalam berbagai aspek kehidupannya, baik dalam kehidupan
bisnis maupun kehidupan keagamaannya.
Dikalangan ulama dan cendikiawan muslim ada empat pendapat
tentang hukum asuransi, yakni sebagai berikut.
1.
Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya sekarang ini, termasuk
asuransi jiwa
2.
membolehkan semua asuransi dalam praktiknya sekarang ini.
3.
Membolehkan aasuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang
semata-mata bersifat komersial.
4.
menganggap syubhat.
Bab III Penutup
A.Kesimpulan
Muamalah merupakan aspek hukum islam yang bukan termasuk
kategori ibadah, seperti shalat, dan haji biasa disebut muamalah. Muamalah
dalam arti khusus mengenai urusan ekonomi dan bisnis dalam islam.
Menurut istilah hukum Syara, jual beli adalah penukaran
harta (dalam pengertian luas) atas dasar saling rela atau tukar menukar suatu
benda (barang) yang dilakukan antara dua pihak dengan kesepakatan (akad)
tertentu atas dasar suka sama suka.
Kata riba (ar riba) menurut bahasa yaitu tambahan (az
ziyadah) atau kelebihan. Riba menurut istilah syarak ialah suatu akad
perjanjian yang terjadi dalam tukar menukar suatu barang yang tidak diketahui
syaraknya.
Syirkah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi
dana atau amal (expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Mudarabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama (sahibul mal) menyediakan seluruh (100 %) modal, sedangkan
pihak lainnya menjadi pengelola.
B.Saran
Untuk semua kalangan masyarakat pelajarilah dengan baik
hukum islam tentang muamalah agar kita tau tentang pelaksanaan kegiatan yang
berhubungan dengan masalah ekonomi maupun jual beli sesuai dengan hukum islam
yang berlaku.
Diperlukan komitmen masyarakat dalam melaksanakan atau
memenuhi hukum islam tentang muamalah dan pemerintah harus mengadakan program
yang mengatur hukum islam tentang muamalah.
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, Pengembangan
Sistem Hukum Nasional dalam Rangka Memantapkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia Sebagai Negara Hukum, Jurnal Mimbar Hukum No. 56 Tahun XIII,
AL-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, Jakarta, 2000.
Enslikopedi
Hukum Islam (dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 47 Th. XI), Al-Hikamh &
DITBINBAPERA Islam, Jakarta.
Hartono
Mardjono, Prospek Berlakunya Hukum Muamalah di Indonesia (Ditulis Dalam Buku
Prospek Hukum Islam Dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia Sebuah
Kenangan 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthanul Arifin, SH)., Kemudi Mas Abadi,
Jakarta, 1994.
Jazuni,
Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar