Jumat, 10 Juni 2016

Sejarah Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam


Islam adalah satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dan alam semesta. Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam dengan prinsip illahiyah. Harta yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik manusia, melainkan hanya titipan dari Allah swt agar dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan umat manusia yang pada akhirnya semua akan kembali kepada Allah swt untuk dipertanggungjawabkan.
Islam adalah sistem kehidupan (way of life). Islam menyediakan berbagai perangkat aturan yang lengkap bagi kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi. Ekonomi Islam dibangun atas dasar agama Islam, sehingga ekonomi Islam bagian tak terpisahkan (integral) dari agama Islam. Sebagai derivasi dari agama Islam, ekonomi Islam akan mengikuti agama Islam dalam berbagai aspeknya. Ciri khas ekonomi Islam adalah tidak memisahkan antara norma dan fakta, serta konsep yang rasional.

1.2         RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Sejarah Perkembangan Ekonomi Islam?
2.      Bagaimana Perkembangan Pemikiran Teori Ekonomi Islam?
3.      Bagaimana Perkembangan Praktik Ekonomi Islam?
4.      Bagaimana  Gerakan Ekonomi Islam Di Indonesia?




BAB II
PEMBAHASAN

2.1       SEJARAH PERKEMBANGAN EKONOMI ISLAM
Perkembangan ekonomi Islam adalah wujud dari upaya menerjemahkan visi Islam rahmatan lil ‘alamin, kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi alam semesta, termasuk manusia di dalamnya. Tidak ada penindasan antara pekerja dan pemilik modal, tidak ada eksploitasi sumber daya alam yang berujung pada kerusakan ekosistem, tidak ada produksi yang hanya berorientasi untung semata, jurang kemiskinan yang tidak terlalu dalam, tidak ada konsumsi yang berlebihan dan mubadzir, tidak ada korupsi dan mensiasati pajak hingga trilyunan rupiah, dan tidak ada tipuan dalam perdagangan dan muamalah lainnya. Dalam kondisi tersebut, manusia menemukan harmoni dalam kehidupan, kebahagiaan di dunia dan insya Allah di kehidupan sesudah kematian nantinya.
Ekonomi Islam yang ada sekarang, teori dan praktik, adalah hasil nyata dari upaya operasionalisasi bagaimana dan melalui proses apa visi Islam tersebut dapat direalisasikan. Walau harus diakui bahwa yang ada sekarang belum merupakan bentuk ideal dari visi Islam itu sendiri. Bahkan menjadi sebuah ironi, sebagian umat Islam yang seharusnya mengemban visi tersebut, saat ini distigmakan sebagai teroris, koruptor, munafik, pembalak. Dan sebagian umat Islam yang lain tidak henti-hentinya saling mencurigai, berburuk sangka, berperang dan bahkan saling mengkafirkan antarsesama mereka.
Perkembangan ekonomi Islam adalah salah satu harapan untuk mewujudkan visi Islam tersebut. Hal ini karena ekonomi Islam adalah satu bentuk integral dalam mewadahi, sebagaimana dinyatakan  Masrhal[1][1], dua kekuatan besar yang mempengaruhi kehidupan dunia, yaitu ekonomi dan agama. Terintegrasikannya dua kekuatan ini dalam satu wadah ekonomi Islam adalah merupakan penyatuan kembali bahwa kehidupan ini berhulu dan bermuara pada satu, yaitu Allah SWT (tawhīd). Secara prinsip tauhid adalah menekankan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup atas dasar dan menuju Allah SWT. Dalam pemahaman Islam seharusnya tidak ditemukan kontradiksi antara dua hal, yang apalagi mempengaruhi pribadi-pribadi muslim menjadi pribadi yang pecah (split personality).
Prinsip-prinsip ekonomi dalam Islam berasal dari ayat Al-Qur’an: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”[2][2]
Ekonomi Islam adalah salah satu jawaban dari bagaimana visi Islam direalisasikan, proses realisasi visi Islam adalah mewujudkan ekonomi Islam dalam bentuk realitas. Proses mewujudkan ekonomi Islam menjadi sebuah realitas dapat dilihat dari dua wujud yang saat ini sudah berkembang, yaitu wujud teori ekonomi Islam dan praktik ekonomi Islam.

2.2       PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TEORI EKONOMI ISLAM
Perkembangan teori ekonomi Islam dimulai dari diturunkannya ayat-ayat tentang ekonomi dalam al-Qur’an, seperti: QS. Al-Baqarah ayat ke 275 dan 279 tetang jual-beli dan riba; QS. Al-Baqarah ayat 282 tentang pembukuan transaksi; QS. Al-Maidah ayat 1 tentang akad; QS. Al-A’raf ayat 31, An-Nisa’ ayat 5 dan 10 tentang pengaturan pencarian, penitipan dan membelanjakan harta. Ayat-ayat ini, menurut At-Tariqi[3][3] menunjukkan bahwa Islam telah menetapkan pokok ekonomi sejak pensyariatan Islam (Masa Rasulullah SAW) dan dilanjutkan secara metodis oleh para penggantinya (Khulafaur Rosyidin). Pada masa ini bentuk permasalaan perokonomian belum sangat variatif, sehingga teori-teori yang muncul pun belum beragam. Hanya saja yang sangat subtansial dari perkembangan pemikiran ini adalah adanya wujud komitmen terhadap realisasi visi Islam rahmatan lil ‘alamin. Perkembangan Pemikiran Ekonomi Islam dari sejak masa nabi sampai sekarang dapat dibagi menjadi 6 tahapan.[4][4]
Tahap Pertama (632-656M), Masa Rasulullah SAW.
Tahap Kedua (656-661M), pemikiran ekonomi Islam di Masa Khulafaur Rosyidin.
Tahap Ketiga atau Periode Awal (738-1037), Pemikir Ekonomi Islam periode ini diwakili Zayd bin Ali (738M), Abu Hanifa (787 M), Awzai (774), Malik (798), Abu Yusuf (798 M), Muhammad bin Hasan Al Syaibani (804), Yahya bin Dam (818 M), Syafi’I (820 M), Abu Ubayd (838 M), Amad bin Hambal (855 M), Yahya bin Hambal (855 M), Yahya bin Umar (902 M), Qudama bin Jafar (948 M), Abu Jafar al Dawudi (1012 M), Mawardi (1058 M), Hasan Al Basri (728 M), Ibrahim bin Dam (874 M) Fudayl bin Ayad (802 M), Makruf Karkhi (815 M), Dzun Nun Al Misri (859), Ibn Maskawih (1030 M), Al Kindi (1873 M), Al Farabi (950 M), Ibnu Sina (1037).
Tahap Keempat atau Periode Kedua (1058-1448 M). Pemikir Ekonomi Islam Periode ini Al Gazali (1111 M), Ibnu Taymiyah (1328 M), Ibnu Khaldun (1040 M), Syamsuddin Al Sarakhsi (1090 M), Nizamu Mulk Tusi (1093 M), Ibnu Masud Al kasani (1182 M), Al-Saizari (1993), fakhruddin Al Razi (1210 M), Najnudin Al Razi (1256 M), Ibnul Ukhuwa (1329 M), Ibnul Qoyyim (1350 M), Muhammad bin Abdul rahman Al Habshi (1300 M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M), Al Maqrizi (1441 M), Al Qusyairi (857), Al Hujwary (1096), Abdul Qadir Al Jailani (1169 M), Al Attar (1252 M), Ibnu Arabi (1240), Jalaluddin Rumi (1274 M), Ibnu Baja (1138 M), Ibnulk Tufayl (1185 M), Ibnu Rusyd (1198 M).
Tahap Kelima atau Periode Ketiga (1446-1931 M). Shah Walilullah Al Delhi (1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab (1787 M), Jamaluddin Al Afghani (1897 M), Mufti Muhammad Abduh (1905 M), Muhammad Iqbal (1938 M), Ibnu Nujaym (1562 M), Ibnu Abidin (1836), Syeh Ahmad Sirhindi (1524M).
Tahap Keenam atau Periode Lanjut (1931 M – Sekarang). Muhammad Abdul Mannan (1938), Muhammad Najatullah Siddiqi (1931 M), Syed Nawad Haider Naqvi (1935), Monzer Kahf, Sayyid Mahmud Taleghani, Muhammad Baqir as Sadr, Umer Chapra.




Hasil pemikiran ekonomi Islam dari beberapa pemikir di atas sebagai berikut :
1.             Zaid bin Ali (80-120H./699-738M), adalah pengagas awal penjualan suatu komoditi secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai.[5][5]
2.             Abu Hanifah (80-150H/699-767M), Abu Hanifah lebih dikenal sebagai imam madzhab hukum yang sangat rasionalistis, Ia juga menggagas keabsahan dan kesahihan hukum kontrak jual beli dengan apa yang dikenal dewasa ini dengan bay’ al-salām dan ah%al-murābah.[6][6]
3.             Al-Awza’i (88-157H./707-774M.). Nama lengkapnya Abdurahman al-Awza’i yang berasal dari Beirut, Libanon dan hidup sezaman dengan Abu Hanifah. Ia adalah pengagas orisinal dalam ilmu ekonomi syariah. Gagasan-gagasanya, antara lain, kebolehan dan kesahihan sistem muzara’ah sebagai bagian dari bentuk mura`bahah dan membolehkan peminjaman modal, baik dalam bentuk tunai atau sejenis.[7][7]
4.             Imam Malik Bin Anas (93-179H./712-796M.).  Imam Malik lebih dikenal sebagai penulis pertama kitab hadis al-Muwatha’, dan Imam Madzhab hukum. Namun, ia pun memiliki pemikiran orisinal di bidang ekonomi, seperti: Ia menganggap raja atau penguasa bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya. Para pengusaha harus peduli terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Teori istislah dalam ilmu hukum Islam yang diperkenalkanya mengandung analisis nilai kegunaan atau teori utility dalam filsafat Barat yang di kemudian hari diperkenalkan oleh Jeremy Benthan dan John Stuart Mill. Di samping itu, ia pun tokoh hukum Islam yang mengakui hak negara Islam untuk menarik pajak demi terpenuhinya kebutuhan bersama.[8][8]
5.             Abu Yusuf (112-182H./731-798H.). Abu Yusuf adalah seorang hakim dan sahabat Abu Hanifah. Ia dikenal dengan panggilan jabatanya (akīm%al-Qadli H) Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim dan dikenal perhatianya atas keuangan umum serta perhatianya pada peran negara, pekerjaan umum, dan perkembangan pertanian.[9][9] Ia pun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan, yakni Kitab al-Kharaj. Karya ini berbeda dengan karya Abu ‘Ubayd yang datang kemudian. Kitab ini, sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis atas permintaan dari penguasa pada zamanya, yakni Khalifah Harun al-Rasyid, dengan tujuan untuk menghindari kedzaliman yang menimpa rakyatnya serta mendatangkan kemaslahatan bagi penguasa. Oleh karena itu, buku ini mencakup pembahasan sekitar jibayat al-kharaj, al-‘usyur, al-shadaqat wa al-jawali (al-jizyah).[10][10] Sedangkan pemikiran kontroversialnya ada pada pandanganya yang menentang pengendalian harga atau tas’ir, yakni penetapan harga oleh penguasa. Sedangkan Ibn Taymiyyah memperjelas secara lebih rinci dengan menyatakan bahwa tas’ir dapat dilakukan pemerintah sebagai bentuk intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar. Hanya saja, ia mempertegas, kapan tas’ir dapat dilakukan oleh pemerintah dan kapan tidak, dan bahkan kapan pemerintah wajib melakukanya.[11][11]
6.             Al-Farabi (260-339 H/870-950 M). Al Farabi mengemukakan tentang tingkat-tingkat pertumbuhan ekonomi manusia, yaitu 1) Madinatu an Nawabit, masyarakat kayu-kayuan atau negara liar; 2) Madinatu al Bahimiyyah, masyarakat binatang atau negara primitif; 3) Madinatu adl-dlaruroh, negara kebutuan; 4) Madinatu al hissah wa as-saqro, negara keinginan; 5) Madinatu A-Tabadul auw al-badalah, negara bertukar kebutuhan; 6) Madinatu An-Nadzalah, negara kapitalis; 7) Madinatu al-Jama’iyyah, negara anarki atau masyarakat komunis; Madinatu al fadhilah, Negara utama.[12][12]
7.             Abu ‘Ubayd al-Qasim bin Sallam (157-224H/774-738M). Pembahasan ekonomi syariah dalam karya Abu ‘Ubayd, al-Amwa’l, diawali dengan enam belas buah hadis di bawah judul haqq al-ima`m ‘ala` al-ra’iyyah, wa haqq al-ra’iyyah ala al-ima`m (hak pemerintah atas rakyatnya dan hak rakyat atas pemerintahnya). Buku ini dapat digolongkan sebagai karya klasik dalam bidang ilmu ekonomi syariah karena sistimatika pembahasanya dengan merekam sejumlah ayat Al-Quran dan Hadis di bidangnya. Bab pertama buku ini, umpamanya, diawali dengan mengutip hadis yang menyatakan bahwa agama itu adalah kritik: al-din al-nshihat; disusul hadis yang menyatakan bahwa setiap orang adalah “penggembala” yang bertanggungjawab atas gembalaanya yang secara tegas dicontohkan: seorang pemimpin adalah penggembala rakyatnya dan bertanggung jawab atasnya; seorang suami bertanggung jawab atas gembalanya, yakni keluarganya; seorang isteri adalah penggembala dan bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anak-anaknya; seorang pekerja penggembala harta tuannya dan bertanggung jawab atasnya.
8.             Ibnu Sina (270-428 H/980-1037). Ia mengemukakan pendapatnya antara lain:
a.       manusia adalah makhluk berekonomi;
b.      ekonomi membutukan negara;
c.       perkembangan ekonomi melalui perkembangan ekonomi keluarga ekonomi masyarakat, dan ekonomi negara;
d.      ekonomi negara ia berpendapat bahwa  tujuan politik negara harus diarahkan kepada keseragaman seluruh masyarakat dalam mewujudkan perekonomian dan kestabilan ekonomi harus dijaga;
e.       Prinsip yang lain adalah arta milik berasal dari warisan dan hasil kerja;
f.       wajib bekerja untuk mendapatkan harta ekonomi menurut jalannya yang sah;
g.      pengeluaran dan pemasukan harus diatur dengan anggaran;
h.      pengeluaran wajib atau nafaqah yang sifatnya konsumtif harus dikeluarkan sehemat mungkin, pengeluaran untuk kepentingan umum (masyarakat dan negara) yang sifatnya wajib juga harus dicukupkan dengan hati yang iklas;
i.        setiap orang harus mempunyai rencana simapanan yang menjadi jaminan baginya pada saat kesukaran atau saat diperlukan.[13][13]
9.             Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/1058-1111). Tokoh yang lebih dikenal sebagai sufi dan filosof serta pengkritik filsafat terkemuka ini melihat bahwa:
a)      perkembangan ekonomi bertolak dari hd) akikat dunia terdiri dari 3 unsur, yaitu materi, manusia dan pembagunan. Ketiga unsur ini interdependence;
b)      perkembangan ekonomi perlu adanya transportasi;
c)      uang bukanlah komoditi, melainkan alat tukar;  
d)     perkembangan ekonomi meningkat menjadi ekonomi Jasa, yaitu hubungan jasa di antara manusia;
e)      perlu adanya pemerintah;
f)       mata uang negara Islam;
g)      perlunya institut perbankan; h) hati-hati terhadap riba;
h)      Dua jalur transaksi perbankan, pribadi dan negara.[14][14]

10.          Al-Mawardi (w. 450 H.). Penulis al-Ahkam al-Sulthaniyyah,[15][15] adalah pakar dari kubu Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa institusi negara dan pemerintahan bertujuan untuk memelihara urusan dunia dan agama atau urasan spiritual dan temporal (li hara`sat al-di`n wa al-umur al-dunyawiyyah). Jika kita amati, persyaratan-persyaratan kepala negara dalam karyanya, maka akan segera nampak bahwa tugas dan fungsi pemerintah dan negara yang dibebankan di atas pundak kepala negara adalah untuk mensejahterakan (al-falah) rakyatnya, baik secara spiritual (ibadah), ekonomi, politik dan hak-hak individual (privat: hak Adami) secara berimbang dengan hak Allah atau hak publik. Tentu saja termasuk di dalamnya adalah pengelolaan harta, lalu lintas hak dan kepemilikan atas harta, perniagaan, poduksi barang dan jasa, distribusi serta konsumsinya yang kesemuanya adalah obyek kajian utama ilmu ekonomi.
11.          Tusi (1201-1274). Tusi adalah penulis buku dalam bahasa Persia, Akhlaq Nasiri yang menjelaskan bahwa: Apabila seseorang harus tetap menghasilkan makanan, pakaian, rumah, dan alat-alatnya sendiri, tentu dia tidak akan dapat bertahan hidup karena tidak akan mempunyai makanan yang cukup untuk jangka lama.
12.         Ibnu Taymiyyah (1262-1328). Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya, al-Siyasat al-Syar’iyyah fi` Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi dan peran pemerintah sebagai pelaksana amanat untuk kesejahteraan rakyat yang ia sebut ada al-amanat ila hliha. Pengelolaan negara serta sumber-sumber pendapatanya menjadi bagian dari seni oleh negara (al-siyasat l-syariyyah) pengertian al-siyasah al-dusturiyyah maupun al-siyasat al-maliyyah (politik hukum publik dan privat).[16][16]
13.         Ibn Khaldun (1332-1406). Cendekiawan asal Tunisia ini lebih dikenal sebagai Bapak ilmu sosial. Namun demikian, ia tidak mengabaikan perhatianya dalam bidang ilmu ekonomi. Walaupun kitabnya, al-Muqaddimah,[17][17] tidak membahas bidang ini dalam bab tertentu, namun ia membahasnya secara berserakan di sana sini. Ia mendefinisikan ilmu ekonomi jauh lebih luas daripada definisi Tusi
Di Indonesia, Secara informal ilmu ekonomi islam dikembangkan oleh elemen masyarakat mulai dari mahasiswa, akademisi maupun para profesional. Diantaranya adalah Internasional Institute of Islamic Thougt yang telah menyelenggarakan Kuliah Informal ekonomi Islam di beberapa perguruan tinggi terkemuka di Indonesia. Kuliah Informal Ekonomi Islam telah diselenggarakan di Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri, Universitas Gajah Mada dan Universitas Brawijaya.[18][18]
Para pemikir ekonomi Islam diwakili oleh tokoh-tokoh yang menulis buku ekonomi Islam dan banyak dijadikan rujukan (dengan tidak mengesampingkan pemikir ekonomi Islam yang lain) antara lain: Syafi’i Antonio, Dawan Rahardjo, Adiwarman Karim, Suroso Imam Zadjuli, M. Akhyar Adnan, Muhammad. Seiring dengan perkembangan pemikiran ekonomi Islam tersebut, beberapa perguruan tinggi yang mengawali membuka pendidikan tinggi ekonomi Islam adalah UNAIR dengan S-3 ekonomi Islam, UII dengan Ekonomi Islam di Magister Studi Islamnya (1997), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Islam Tazkia, Sekolah Tinggi Ilmu Syariah dengan Jurusan Muamalahnya (1997).

2.3       PERKEMBANGAN PRAKTIK EKONOMI ISLAM

Praktek perbankan di zaman Rasulullah dan Sahabat telah terjadi karena telah ada lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi-fungsi utama opersional perbankan, yakni:
1)            menerima simpanan uang;
2)            meminjamkan uang atau memberikan pembiayan dalam bentuk mudharabah, musyarakah, muzara’ah dan musaqah;
3)            memberikan jasa pengiriman atau transfer uang.
Istilah-istilah fiqh di bidang ini pun muncul dan diduga berpengaruh pada istilah teknis perbankan modern, seperti istilah qard yang berarti pinjaman atau kredit menjadi bahasa Inggris credit dan istilah suq jamaknya suquq yang dalam bahasa Arab harfiah berarti pasar bergeser menjadi alat tukar dan ditransfer ke dalam bahasa Inggris dengan sedikit perubahan menjadi check atau cheque dalam bahasa Prancis.
Fungsi-fungsi yang lazimnya dewasa ini dilaksanakan oleh perbankan telah dilaksanakan sejak zaman Rasulullah hingga Abbasiyah. Istilah bank tidak dikenal zaman itu, akan tetapi pelaksanaan fungsinya telah terlaksana dengan akad sesuai syariah. Fungsi-fungsi itu di zaman Rasulullah dilaksanakan oleh satu orang yang melaksanakan satu fungsi saja. Sedangkan pada zaman Abbasiyah, ketiga fungsi tersebut sudah dilaksanakan oleh satu individu saja. Perbankan berkembang setelah munculnya beragam jenis mata uang dengan kandungan logam mulia yang beragam. Dengan demikian, diperluan keahlian khusus bagi mereka yang bergelut di bidang pertukaran uang. Maka mereka yang mempunyai keahlian khusus itu disebut naqid, sarraf, dan jihbiz[19][19] yang kemudian menjadi cikal bakal praktek pertukaran mata uang atau money changer.
Peranan bankir pada masa Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Khalifah al-Muqtadir (908-932).[20][20] Sementara itu, suq (cek) digunakan secara luas sebagai media pembayaran. Sejarah pebankan Islam mencatat Saefudaulah al-Hamdani sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Bagdad, Iraq dengan Alepo (Spanyol).[21][21]
Mengingat penting dan strategisnya institusi dan sistem perbankan untuk menggerakan roda perekonomian, maka berbagai upaya dilakukan ahli ekonomi Islam. Pertengahan tahun 1940-an Malaysia mencoba membuka bank non bunga, namun tidak sukses. Akhir tahun 1950-an Pakistan mencoba mendirikan lembaga perkreditan tanpa bunga di pedesaan. Sedangkan uji coba yang relatif sukses dilakukan oleh Mesir dengan mendirikan Mit Ghamr Local Saving Bank  tahun 1963 yang disambut baik oleh para petani dan masyarakat pedesaan. Namun, keberhasilan ini terhenti karena masalah politik, yakni intervensi pemerintah Mesir. Dengan demikian, operasional Mit Ghamr diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir (1967). Baru pada masa rezim Anwar Sadat (1971) sistim nirbunga dihidupkan kembali dengan dibukanya Nasser Social Bank. Keberhasilan di atas mengilhami para petinggi OKI hinga akhirnya berdirilah Islamic Development Bank (IDB) bulan Oktober 1975

2.4       GERAKAN EKONOMI ISLAM DI INDONESIA

Akar sejarah pemikiran dan aktivits ekonomi Islam Indonesia tak bisa lepas dari awal sejarah masuknya Islam di negeri ini. Bahkan aktivitas ekonomi syariah di tanah air tak terpisahkan dari konsepsi lingua franca. Menurut para pakar, mengapa bahasa Melayu menjadi bahasa Nusantara, ialah karena bahasa Melayu adalah bahasa yang populer dan digunakan dalam berbagai transaksi perdagangan di kawasan ini. Para pelaku ekonomi pun didominasi oleh orang Melayu yang identik dengan orang Islam. Bahasa Melayu memiliki banyak kosa kata yang berasal dari bahasa Arab. Ini berarti banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep Islam dalam kegiatan ekonomi. Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas ekonomi syariah tidak dalam bentuk formal melainkan telah berdifusi dengan kebudayaan Melayu sebagaimana terceriman dalam bahasanya. Namun demikian, penelitian khusus tentang institusi dan pemikiran ekonomi syariah nampaknya belum ada yang meminatinya secara khusus dan serius. Oleh karena itu, nampak kepada kita adalah upaya dan gerakan yang dominan untuk penegakan syariah Islam dalam kontek kehidupan politik dan hukum. Walaupun pernah lahir Piagam Jakarta dan gagal dilaksanakan, akan tetapi upaya Islamisasi dalam pengertian penegakan syariat Islam di Indonesia tak pernah surut.
Pemikiran dan aktivitas ekonomi syariah di Indonesia akhir abad ke-20 lebih diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan dan perbankan syariah. Salah satu pilihanya adalah gerakan koperasi yang dianggap sejalan atau tidak bertentangan dengan syariah Islam. Oleh karena itu, gerakan koperasi mendapat sambutan baik oleh kalangan santri dan pondok pesantren. [22][22]
Kelahiran bank Islam di Indonesia hari demi hari semakin kuat karena beberapa faktor:
1)      adanya kepastian hukum perbankan yang melindunginya;
2)      tumbuhnya kesadaran masayarakat manfaatnya lembaga keuangandanperbankan syariah;
3)      dukungan politik atau political will dari pemerintah.
Akan tetapi, kelahiran bank syariah di Indonesia tidak diimbangi dengan pendirian lembaga-lembaga pendidikan perbankan syariah. Sejak tahun 1990-an ketika Dirjen Bimbaga Islam Depag RI melakukan posisioning jurusan-jurusan di lingkungan IAIN, penulis pernah mengusulkan kepada Menteri Agama dan para petinggi di Depag RI agar mempersiapkan institusi untuk mengkaji kecenderungan dan perkembangan ekonomi syariah di tanah air. Usaha maksimal saat itu ialah memilah jurusan Muamalat/Jinayat pada Fakultas syariah IAIN menjadi dua, yakni Jurusan Muamalat dan Jurusan Jinayah-Siyasah.
Maraknya perbankan syariah di tanah air tidak diimbangi dengan lembaga pendidikan yang memadai. Akibatnya, perbankan syariah di Indonesia baru pada Islamisasi nama kelembagaanya. Belum Islamisasi para pelakunya secara individual dan secara material. Maka tidak heran jika transaksi perbankan syariah tidak terlalu beda dengan transaksi bank konvensional hanya saja ada konkordansi antra nilaisuku bungan dengan nisbah bagihasil. Bahkan terkadang para pejabat bank tidak mau tahu jika nasabahnya mengalami kerugian atau menurunya keuntungan. Mereka “mematok” bagi hasil dengan rate yang benar-benar menguntungkan bagi pihak bank secara sepihak. Di lain pihak, kadangkala ada nasabah yang bersedia mendepositkan dananya di bank syariah dengan syarat meminta bagi hasilnya minimal sama dengan bank konvensional milik pemerintah.[23][23]  Terlepas dari kekurangan dan kelebihan perbankan syariah, yang pasti dan faktual adalah bahwa ia telah memberikan konstribusi yang berarti dan meaningfull bagi pergerakan roda perekonomian Indonesia dan mengatasi krisis moneter.
DSN-MUI sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2005 telah banyak mengeluarkan fatwa-fatwa tentang ekonomi Islam (mu’amalah maliyah) untuk menjadi pedoman bagi para pelaku ekonomi Islam khususnya perbankan syari’ah. Dalam metode penerbitan fatwa dalam bidang mu’amalah maliyah diyakini menggunakan kempat sumber hukum yang disepakati oleh ulama suni; yaitu Al-Quran al Karim, Hadis Nabawi, Ijma’ dan Qiyas, serta menggunakan salah satu sumber hukum yang masih diperselisihkan oleh ulama; yaitu istihsan, istishab, dzari’ah, dan ‘urf.
Dalam proses penerbitan fatwa diperkirakan mempelajari empat mazhab suni, yaitu imam mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali disamping pertimbangan lain yang bersifat temporal dan kondisional. Oleh karena itu, perlu mengkaji secara seksama dan perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sifat fatwa-fatwa MUI dalam bidang ekonomi Islam dari segi metode perumusannya, sisi ekonomi di sekelilingnya dan respons masyarakat terhadap fatwa-fatwa itu.[24][24]
Di Indonesia, atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia bersama kalangan pengusaha muslim sejak 1992 telah beroperasi sebuah bank syari’ah, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang sistem operasionalnya mengacu pada No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi Hasil. Pada tahun 1998, disahkan Undang-undang RI No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Secara legal, perbankan syari’ah telah diakui sebagai subsistem perbankan nasional.
Di tengah dinamika tumbuh dan berkembangnya lembaga keuangan syari’ah, pada tahun 1997 krisis ekonomi datang menerjang memporak-porandakan sistem perbankan nasional. Sebagaimana diungkap oleh Warkum, mulai bulan Juli 1997 sampai dengan 13 Maret 1999 pemerintah menutup 55 bank, mengambil alih 11 bank (BTO) dan 9 bank lainnya dibantu melakukan rekapitalisasi. Pada Oktober 2001, sebagaimana laporan Majalah Investasi[1][1] terjadi lagi satu bank konvensional yang dibekukan atau Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Dari 240 bank sebelum krisis, kini hanya tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah.[1][2]
Di antara lembaga keuangan syari’ah yang berkembang secara pesat di tengah sistem perbankan yang sedang sakit adalah antara lain bank syari’ah, BPRS dan BMT. Bank Syari’ah berkembang berdampingan dengan bank-bank konvensional. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya Bank BNI Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah, BII Syariah. Di samping itu berkembang juga lembaga keuangan syari’ah yang bersifat mikro, yang bergerak di kalangan ekonomi bawah, yaitu BMT (Baitul Maal wat-Tamwil).


BAB III
PENUTUP

3.1       KESIMPULAN
Baru tiga dasawarsa menjelang abad 21, muncul kesadaran baru umat Islam untuk mengembangkan kembali kajian ekonomi syari’ah. Ajaran Islam tentang ekonomi, kembali mendapat perhatian serius dan berkembang menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada era tersebut lahir dan muncul para ahli ekonomi syariah yang handal dan memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidang mu’amalah. Sebagai realisasi dari ekonomi syariah, maka sejak tahun 1975 didirikanlah Internasional Development Bank ( IDB ) di Jeddah. Setelah itu, di berbagai negara, baik negeri- negeri muslim maupun bukan, berkembang pula lembaga – lembaga keuangan syariah.
Momentum Indonesia Syariah Expo hendaknya bisa menyentakkan dan membuka mata pemerintah untuk melirik dan menerapkan ekonomi syariah sebagai solusi perekonomian Indonesia.  Pemerintah harus melihat ekonomi syari’ah dalam konteks penyelamatan ekonomi Nasional. Sehubungan dengan itu, pembentukan Dewan Ekonomi Nasional (DEN) perlu kembali diwujudkan dengan memasukkan para pakar ekonomoi syariah di dalamnya. Ekonomi syariah di Indonesia telah menunjukkan ketangguhannya di masa krisis dan lagi pula dalam praktek perekonomian di Indonesia selama ini, Indonesia sudah menerapkan  dual system, yakni konvensional dan sistem ekonomi syari’ah, terutama yang berkaitan dengan lembaga perbankan dan keuangan.

3.2       SARAN

1)             Semoga makalah yang dibuat oleh penyusun ada manfaatnya bagi pembaca khususnya bagi penulis.
2)             Ekonomi syariah islam telah terbukti dalam membangun ekonomi nasional jadi pemerintah harus segera mempergunakan system ekonomi islam untuk mencapai keadilan dan kemakmuran bagi rakyat.
3)             Pemerintah jangan menghilangkan system ekonomi islam pada era sekarang ini melainkan harus terus menjaga ekonomi syariah islam.  




DAFTAR PUSTAKA
Abu ‘Ubayd al-Qasim bn Sallam. 1981. Al-Amwa’l.  Beirut Libanon. Mu’assassat al-Nashir.
Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashriy al-Bagdady al-Mawardy, t.t. al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Dar al-Fikr, Beirut.
Adiwarman A. Karim, Refleksi dan Proyeksi Ekonomi Islam Indonesia. At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain. Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan. (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004)
Cf. The Muqaddimah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dri bhasaArab oleh Franz Rosenthal (3 jilid) diterbitkan oleh Bollingen Foundation Inc., New York
Dawam Raharjo, Menegakan Syariat Islam di Bidang Ekonomi, dalam Adiwarman Karim, Bank Islam: analisis fiqh dan Keuangan, IIIT Indonesia, Jakarta, 2003
Fakta penerimaan kalangan santri, antara lain, berdirinya Induk Koperasi Pondok Pesantren (INKOPONTREN) di Jakarta tahun 1996 oleh Puskopontren Jawa Barat, DKI, DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perkembangan Kopontren semakin menjamur setelah digulirkanya proyek P2KR (Proyek Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (baca:Pessantren) oleh BAPPENAS, 1998
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisia, 2002), hal. 149. Penulis buku ini menkompilasi dari Sumber M. Najatullah Siddiqi (1995), M. Aslam Hannaef (1995), dan A. Karim (2001).
Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, [nd.] Cf. Juhaya S Praja, al-Hisbah  sebagai Bentuk Intervensi Pemerintah dalam Mekanisme Pasar, makalah disajikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan bersama oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dengan BAPPEBTI Deperindag RI Jakarta, di Hotel Radison Yogyakarta, November, 1999.
M Cholil Nafis. Corak Pemikiran Hukum Ekonomi Islam di Indonesia. Diakses dari




[1][1]mūd Abū Su’ūd, Marshal sebagaimana dikutip oleh Mah ād al-Islāmiyy%ut Ra’isiyyah fī al-Iqtis Khut, (Maktabat al-Manār al-Islāmiyyah, Kuwait,1968), hal. 56.
[2][2] Al-Qur’an Surat 28: ayat 77.
[3][3] At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain. Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan. (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004), hal. 26
[4][4]Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisia, 2002), hal. 149. Penulis buku ini menkompilasi dari Sumber M. Najatullah Siddiqi (1995), M. Aslam Hannaef (1995), dan A. Karim (2001).
[5][5]Ibid., hal. 5-7.
[6][6] Muhammad Abu Zahrah, Abu`Hani`fah, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby [nd]., hal. 404-410, 432-442, 539.
[7][7] Shobhi Mahmashani, al-Awza’i: Ta’limuhu al-Insaniyyah wa al-Qa`nuniyyah, Beirut, Dar al- ‘Ilmli al-Mala’in, 1978, hal. 426, 314-318, 447.
[8][8] Muhammad Abu Zahrah, Ma`lik, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby, 1952, hal. 73-74, 335-383, 432.
[9][9] Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, h. 24
[10][10] al-Qadli AbuYusuf Ya’qub Ibrahim (112-182H), Kitab al-Kharaj, Muhib al-Din al-Khatib, [nd.]
[11][11] Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, [nd.] Cf. Juhaya S Praja, al-Hisbahsebagai Bentuk Intervensi Pemerintah dalam Mekanisme Pasar, makalah disajikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan bersama oleh Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dengan BAPPEBTI Deperindag RI Jakarta, di Hotel Radison Yogyakarta, November, 1999.
[12][12]
[13][13] Zainal Abidin Ahmad, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal. 242-250.
[14][14] Abu ‘Ubayd al-Qasim bn Sallam (157-224H/774-738M) dalam kitabnya, al-Amwa’l, Mu’assassat al-Nashir, Beirut, Libanon, cet.i, 1981
[15][15] Zainal Abidin Ahmad, Dasar., hal.251-274.
[16][16]Ibid., hal. 275-300.
[17][17] Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashriy al-Bagdady al-Mawardy, al-Ahka`m al-Sultha`niyyah, Dar al-Fikr, Beirut [nd].
[18][18] Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam,
[19][19]Adiwarman A. Karim, Refleksi dan Proyeksi Ekonomi Islam Indonesia. Diakses dari http://www.dilibrary.net/images/topics/Materi%20-%20Adiwarman.pdf. Tanggal 30 Januari 2007.
[20][20] Istilah jihbiz mulai dikenal pada masa Muawiyah (661-680M). Istilah ini dipinjam dari bahasa Persia kahbad atau kihbud. Pada masa pemerintahan Sasanid, istilah jihbiz digunakan untuk orang yang melaksanakan fungsi dan tugas mengumpulkan pajak tanah.
[21][21] Pada masa ini setiap wazir (menteri) mempunyai bankirnya masing-masing. Misalnya: Ibnu Furat menunjuk Harun Ibnu Imran dan Josep Ibnu Wahab sebagai bankirnya.
[22][22] Fakta penerimaan kalangan santri, antara lain, berdirinya Induk Koperasi Pondok Pesantren (INKOPONTREN) di Jakarta tahun 1996 oleh Puskopontren Jawa Barat, DKI, DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perkembangan Kopontren semakin menjamur setelah digulirkanya proyek P2KR (Proyek Pemberdayaan Ekonomi Rakyat (baca:Pessantren) oleh BAPPENAS, 1998
[23][23] Data diperoleh dari nasabah dan investigasi penulis terhadap Bank Syariah Lembur Kuring (nama samaran)
[24][24] M Cholil Nafis. Corak Pemikiran Hukum Ekonomi Islam di Indonesia. Diakses dari http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=245626&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=217 tanggal 30 Nov 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar