Islam
adalah satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan
manusia dan alam semesta. Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam
dengan prinsip illahiyah. Harta yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik
manusia, melainkan hanya titipan dari Allah swt agar dimanfaatkan
sebaik-baiknya demi kepentingan umat manusia yang pada akhirnya semua akan
kembali kepada Allah swt untuk dipertanggungjawabkan.
Islam
adalah sistem kehidupan (way of life). Islam menyediakan berbagai perangkat
aturan yang lengkap bagi kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi.
Ekonomi Islam dibangun atas dasar agama Islam, sehingga ekonomi Islam bagian
tak terpisahkan (integral) dari agama Islam. Sebagai derivasi dari agama Islam,
ekonomi Islam akan mengikuti agama Islam dalam berbagai aspeknya. Ciri khas
ekonomi Islam adalah tidak memisahkan antara norma dan fakta, serta konsep yang
rasional.
1.2
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana Sejarah Perkembangan Ekonomi Islam?
2.
Bagaimana Perkembangan Pemikiran Teori Ekonomi Islam?
3.
Bagaimana Perkembangan Praktik Ekonomi Islam?
4.
Bagaimana Gerakan Ekonomi Islam Di
Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SEJARAH PERKEMBANGAN EKONOMI ISLAM
Perkembangan
ekonomi Islam adalah wujud dari upaya menerjemahkan visi Islam rahmatan lil
‘alamin, kebaikan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi alam semesta, termasuk
manusia di dalamnya. Tidak ada penindasan antara pekerja dan pemilik modal,
tidak ada eksploitasi sumber daya alam yang berujung pada kerusakan ekosistem,
tidak ada produksi yang hanya berorientasi untung semata, jurang kemiskinan
yang tidak terlalu dalam, tidak ada konsumsi yang berlebihan dan mubadzir,
tidak ada korupsi dan mensiasati pajak hingga trilyunan rupiah, dan tidak ada
tipuan dalam perdagangan dan muamalah lainnya. Dalam kondisi tersebut, manusia
menemukan harmoni dalam kehidupan, kebahagiaan di dunia dan insya Allah di
kehidupan sesudah kematian nantinya.
Ekonomi
Islam yang ada sekarang, teori dan praktik, adalah hasil nyata dari upaya
operasionalisasi bagaimana dan melalui proses apa visi Islam tersebut dapat
direalisasikan. Walau harus diakui bahwa yang ada sekarang belum merupakan
bentuk ideal dari visi Islam itu sendiri. Bahkan menjadi sebuah ironi, sebagian
umat Islam yang seharusnya mengemban visi tersebut, saat ini distigmakan
sebagai teroris, koruptor, munafik, pembalak. Dan sebagian umat Islam yang lain
tidak henti-hentinya saling mencurigai, berburuk sangka, berperang dan bahkan
saling mengkafirkan antarsesama mereka.
Perkembangan
ekonomi Islam adalah salah satu harapan untuk mewujudkan visi Islam tersebut.
Hal ini karena ekonomi Islam adalah satu bentuk integral dalam mewadahi,
sebagaimana dinyatakan Masrhal[1][1],
dua kekuatan besar yang mempengaruhi kehidupan dunia, yaitu ekonomi dan agama.
Terintegrasikannya dua kekuatan ini dalam satu wadah ekonomi Islam adalah merupakan
penyatuan kembali bahwa kehidupan ini berhulu dan bermuara pada satu, yaitu
Allah SWT (tawhīd). Secara prinsip tauhid adalah menekankan kesatuan alam
semesta, kesatuan kebenaran dan pengetahuan serta kesatuan hidup atas dasar dan
menuju Allah SWT. Dalam pemahaman Islam seharusnya tidak ditemukan kontradiksi
antara dua hal, yang apalagi mempengaruhi pribadi-pribadi muslim menjadi
pribadi yang pecah (split personality).
Prinsip-prinsip
ekonomi dalam Islam berasal dari ayat Al-Qur’an: “Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.”[2][2]
Ekonomi
Islam adalah salah satu jawaban dari bagaimana visi Islam direalisasikan,
proses realisasi visi Islam adalah mewujudkan ekonomi Islam dalam bentuk realitas.
Proses mewujudkan ekonomi Islam menjadi sebuah realitas dapat dilihat dari dua
wujud yang saat ini sudah berkembang, yaitu wujud teori ekonomi Islam dan
praktik ekonomi Islam.
2.2 PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TEORI EKONOMI
ISLAM
Perkembangan
teori ekonomi Islam dimulai dari diturunkannya ayat-ayat tentang ekonomi dalam
al-Qur’an, seperti: QS. Al-Baqarah ayat ke 275 dan 279 tetang jual-beli dan
riba; QS. Al-Baqarah ayat 282 tentang pembukuan transaksi; QS. Al-Maidah ayat 1
tentang akad; QS. Al-A’raf ayat 31, An-Nisa’ ayat 5 dan 10 tentang pengaturan
pencarian, penitipan dan membelanjakan harta. Ayat-ayat ini, menurut At-Tariqi[3][3]
menunjukkan bahwa Islam telah menetapkan pokok ekonomi sejak pensyariatan Islam
(Masa Rasulullah SAW) dan dilanjutkan secara metodis oleh para penggantinya
(Khulafaur Rosyidin). Pada masa ini bentuk permasalaan perokonomian belum
sangat variatif, sehingga teori-teori yang muncul pun belum beragam. Hanya saja
yang sangat subtansial dari perkembangan pemikiran ini adalah adanya wujud komitmen
terhadap realisasi visi Islam rahmatan lil ‘alamin. Perkembangan Pemikiran
Ekonomi Islam dari sejak masa nabi sampai sekarang dapat dibagi menjadi 6
tahapan.[4][4]
Tahap
Pertama (632-656M), Masa Rasulullah SAW.
Tahap
Kedua (656-661M), pemikiran ekonomi Islam di Masa Khulafaur Rosyidin.
Tahap
Ketiga atau Periode Awal (738-1037), Pemikir Ekonomi Islam periode ini diwakili
Zayd bin Ali (738M), Abu Hanifa (787 M), Awzai (774), Malik (798), Abu Yusuf
(798 M), Muhammad bin Hasan Al Syaibani (804), Yahya bin Dam (818 M), Syafi’I
(820 M), Abu Ubayd (838 M), Amad bin Hambal (855 M), Yahya bin Hambal (855 M),
Yahya bin Umar (902 M), Qudama bin Jafar (948 M), Abu Jafar al Dawudi (1012 M),
Mawardi (1058 M), Hasan Al Basri (728 M), Ibrahim bin Dam (874 M) Fudayl bin
Ayad (802 M), Makruf Karkhi (815 M), Dzun Nun Al Misri (859), Ibn Maskawih
(1030 M), Al Kindi (1873 M), Al Farabi (950 M), Ibnu Sina (1037).
Tahap
Keempat atau Periode Kedua (1058-1448 M). Pemikir Ekonomi Islam Periode ini Al
Gazali (1111 M), Ibnu Taymiyah (1328 M), Ibnu Khaldun (1040 M), Syamsuddin Al
Sarakhsi (1090 M), Nizamu Mulk Tusi (1093 M), Ibnu Masud Al kasani (1182 M),
Al-Saizari (1993), fakhruddin Al Razi (1210 M), Najnudin Al Razi (1256 M),
Ibnul Ukhuwa (1329 M), Ibnul Qoyyim (1350 M), Muhammad bin Abdul rahman Al
Habshi (1300 M), Abu Ishaq Al Shatibi (1388 M), Al Maqrizi (1441 M), Al
Qusyairi (857), Al Hujwary (1096), Abdul Qadir Al Jailani (1169 M), Al Attar
(1252 M), Ibnu Arabi (1240), Jalaluddin Rumi (1274 M), Ibnu Baja (1138 M), Ibnulk
Tufayl (1185 M), Ibnu Rusyd (1198 M).
Tahap
Kelima atau Periode Ketiga (1446-1931 M). Shah Walilullah Al Delhi (1762 M),
Muhammad bin Abdul Wahab (1787 M), Jamaluddin Al Afghani (1897 M), Mufti
Muhammad Abduh (1905 M), Muhammad Iqbal (1938 M), Ibnu Nujaym (1562 M), Ibnu
Abidin (1836), Syeh Ahmad Sirhindi (1524M).
Tahap
Keenam atau Periode Lanjut (1931 M – Sekarang). Muhammad Abdul Mannan (1938),
Muhammad Najatullah Siddiqi (1931 M), Syed Nawad Haider Naqvi (1935), Monzer
Kahf, Sayyid Mahmud Taleghani, Muhammad Baqir as Sadr, Umer Chapra.
Hasil pemikiran ekonomi
Islam dari beberapa pemikir di atas sebagai berikut :
1.
Zaid bin Ali (80-120H./699-738M), adalah pengagas awal penjualan suatu komoditi
secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai.[5][5]
2.
Abu Hanifah (80-150H/699-767M), Abu Hanifah lebih dikenal sebagai imam madzhab
hukum yang sangat rasionalistis, Ia juga menggagas keabsahan dan kesahihan
hukum kontrak jual beli dengan apa yang dikenal dewasa ini dengan bay’ al-salām
dan ah%al-murābah.[6][6]
3.
Al-Awza’i (88-157H./707-774M.). Nama lengkapnya Abdurahman al-Awza’i yang
berasal dari Beirut, Libanon dan hidup sezaman dengan Abu Hanifah. Ia adalah
pengagas orisinal dalam ilmu ekonomi syariah. Gagasan-gagasanya, antara lain,
kebolehan dan kesahihan sistem muzara’ah sebagai bagian dari bentuk mura`bahah
dan membolehkan peminjaman modal, baik dalam bentuk tunai atau sejenis.[7][7]
4.
Imam Malik Bin Anas (93-179H./712-796M.). Imam Malik lebih dikenal
sebagai penulis pertama kitab hadis al-Muwatha’, dan Imam Madzhab hukum. Namun,
ia pun memiliki pemikiran orisinal di bidang ekonomi, seperti: Ia menganggap
raja atau penguasa bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya. Para
pengusaha harus peduli terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Teori
istislah dalam ilmu hukum Islam yang diperkenalkanya mengandung analisis nilai
kegunaan atau teori utility dalam filsafat Barat yang di kemudian hari
diperkenalkan oleh Jeremy Benthan dan John Stuart Mill. Di samping itu, ia pun
tokoh hukum Islam yang mengakui hak negara Islam untuk menarik pajak demi
terpenuhinya kebutuhan bersama.[8][8]
5.
Abu Yusuf (112-182H./731-798H.). Abu Yusuf adalah seorang hakim dan sahabat Abu
Hanifah. Ia dikenal dengan panggilan jabatanya (akīm%al-Qadli
H) Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim dan dikenal perhatianya atas keuangan umum serta
perhatianya pada peran negara, pekerjaan umum, dan perkembangan pertanian.[9][9]
Ia pun dikenal sebagai penulis pertama buku perpajakan, yakni Kitab al-Kharaj.
Karya ini berbeda dengan karya Abu ‘Ubayd yang datang kemudian. Kitab ini,
sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya, ditulis atas permintaan dari
penguasa pada zamanya, yakni Khalifah Harun al-Rasyid, dengan tujuan untuk
menghindari kedzaliman yang menimpa rakyatnya serta mendatangkan kemaslahatan
bagi penguasa. Oleh karena itu, buku ini mencakup pembahasan sekitar jibayat
al-kharaj, al-‘usyur, al-shadaqat wa al-jawali (al-jizyah).[10][10] Sedangkan
pemikiran kontroversialnya ada pada pandanganya yang menentang pengendalian
harga atau tas’ir, yakni penetapan harga oleh penguasa. Sedangkan Ibn Taymiyyah
memperjelas secara lebih rinci dengan menyatakan bahwa tas’ir dapat dilakukan
pemerintah sebagai bentuk intervensi pemerintah dalam mekanisme pasar. Hanya
saja, ia mempertegas, kapan tas’ir dapat dilakukan oleh pemerintah dan kapan
tidak, dan bahkan kapan pemerintah wajib melakukanya.[11][11]
6.
Al-Farabi (260-339 H/870-950 M). Al Farabi mengemukakan tentang tingkat-tingkat
pertumbuhan ekonomi manusia, yaitu 1) Madinatu an Nawabit, masyarakat
kayu-kayuan atau negara liar; 2) Madinatu al Bahimiyyah, masyarakat binatang
atau negara primitif; 3) Madinatu adl-dlaruroh, negara kebutuan; 4) Madinatu al
hissah wa as-saqro, negara keinginan; 5) Madinatu A-Tabadul auw al-badalah,
negara bertukar kebutuhan; 6) Madinatu An-Nadzalah, negara kapitalis; 7)
Madinatu al-Jama’iyyah, negara anarki atau masyarakat komunis; Madinatu al
fadhilah, Negara utama.[12][12]
7.
Abu ‘Ubayd al-Qasim bin Sallam (157-224H/774-738M). Pembahasan ekonomi syariah
dalam karya Abu ‘Ubayd, al-Amwa’l, diawali dengan enam belas buah hadis di
bawah judul haqq al-ima`m ‘ala` al-ra’iyyah, wa haqq al-ra’iyyah ala al-ima`m
(hak pemerintah atas rakyatnya dan hak rakyat atas pemerintahnya). Buku ini
dapat digolongkan sebagai karya klasik dalam bidang ilmu ekonomi syariah karena
sistimatika pembahasanya dengan merekam sejumlah ayat Al-Quran dan Hadis di
bidangnya. Bab pertama buku ini, umpamanya, diawali dengan mengutip hadis yang
menyatakan bahwa agama itu adalah kritik: al-din al-nshihat; disusul hadis yang
menyatakan bahwa setiap orang adalah “penggembala” yang bertanggungjawab atas
gembalaanya yang secara tegas dicontohkan: seorang pemimpin adalah penggembala
rakyatnya dan bertanggung jawab atasnya; seorang suami bertanggung jawab atas
gembalanya, yakni keluarganya; seorang isteri adalah penggembala dan
bertanggung jawab atas rumah suaminya dan anak-anaknya; seorang pekerja
penggembala harta tuannya dan bertanggung jawab atasnya.
8.
Ibnu Sina (270-428 H/980-1037). Ia mengemukakan pendapatnya antara lain:
a.
manusia adalah makhluk berekonomi;
b.
ekonomi membutukan negara;
c.
perkembangan ekonomi melalui perkembangan ekonomi keluarga ekonomi masyarakat,
dan ekonomi negara;
d.
ekonomi negara ia berpendapat bahwa tujuan politik negara harus diarahkan
kepada keseragaman seluruh masyarakat dalam mewujudkan perekonomian dan
kestabilan ekonomi harus dijaga;
e.
Prinsip yang lain adalah arta milik berasal dari warisan dan hasil kerja;
f.
wajib bekerja untuk mendapatkan harta ekonomi menurut jalannya yang sah;
g.
pengeluaran dan pemasukan harus diatur dengan anggaran;
h.
pengeluaran wajib atau nafaqah yang sifatnya konsumtif harus dikeluarkan
sehemat mungkin, pengeluaran untuk kepentingan umum (masyarakat dan negara)
yang sifatnya wajib juga harus dicukupkan dengan hati yang iklas;
i.
setiap orang harus mempunyai rencana simapanan yang menjadi jaminan baginya
pada saat kesukaran atau saat diperlukan.[13][13]
9.
Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/1058-1111). Tokoh yang lebih dikenal sebagai
sufi dan filosof serta pengkritik filsafat terkemuka ini melihat bahwa:
a)
perkembangan ekonomi bertolak dari hd) akikat dunia terdiri dari 3 unsur, yaitu
materi, manusia dan pembagunan. Ketiga unsur ini interdependence;
b)
perkembangan ekonomi perlu adanya transportasi;
c)
uang bukanlah komoditi, melainkan alat tukar;
d)
perkembangan ekonomi meningkat menjadi ekonomi Jasa, yaitu hubungan jasa di
antara manusia;
e)
perlu adanya pemerintah;
f)
mata uang negara Islam;
g)
perlunya institut perbankan; h) hati-hati terhadap riba;
h)
Dua jalur transaksi perbankan, pribadi dan negara.[14][14]
10. Al-Mawardi (w. 450 H.). Penulis al-Ahkam
al-Sulthaniyyah,[15][15]
adalah pakar dari kubu Syafi’iyyah yang menyatakan bahwa institusi negara dan
pemerintahan bertujuan untuk memelihara urusan dunia dan agama atau urasan
spiritual dan temporal (li hara`sat al-di`n wa al-umur al-dunyawiyyah). Jika
kita amati, persyaratan-persyaratan kepala negara dalam karyanya, maka akan
segera nampak bahwa tugas dan fungsi pemerintah dan negara yang dibebankan di
atas pundak kepala negara adalah untuk mensejahterakan (al-falah) rakyatnya,
baik secara spiritual (ibadah), ekonomi, politik dan hak-hak individual
(privat: hak Adami) secara berimbang dengan hak Allah atau hak publik. Tentu
saja termasuk di dalamnya adalah pengelolaan harta, lalu lintas hak dan kepemilikan
atas harta, perniagaan, poduksi barang dan jasa, distribusi serta konsumsinya
yang kesemuanya adalah obyek kajian utama ilmu ekonomi.
11. Tusi (1201-1274). Tusi adalah penulis buku
dalam bahasa Persia, Akhlaq Nasiri yang menjelaskan bahwa: Apabila seseorang
harus tetap menghasilkan makanan, pakaian, rumah, dan alat-alatnya sendiri,
tentu dia tidak akan dapat bertahan hidup karena tidak akan mempunyai makanan
yang cukup untuk jangka lama.
12.
Ibnu Taymiyyah (1262-1328). Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya, al-Siyasat
al-Syar’iyyah fi` Ishlah al-Ra’iy wa al-Ra’iyyah menegaskan tugas, fungsi dan
peran pemerintah sebagai pelaksana amanat untuk kesejahteraan rakyat yang ia
sebut ada al-amanat ila hliha. Pengelolaan negara serta sumber-sumber pendapatanya
menjadi bagian dari seni oleh negara (al-siyasat l-syariyyah) pengertian
al-siyasah al-dusturiyyah maupun al-siyasat al-maliyyah (politik hukum publik
dan privat).[16][16]
13.
Ibn Khaldun (1332-1406). Cendekiawan asal Tunisia ini lebih dikenal sebagai
Bapak ilmu sosial. Namun demikian, ia tidak mengabaikan perhatianya dalam
bidang ilmu ekonomi. Walaupun kitabnya, al-Muqaddimah,[17][17] tidak
membahas bidang ini dalam bab tertentu, namun ia membahasnya secara berserakan
di sana sini. Ia mendefinisikan ilmu ekonomi jauh lebih luas daripada definisi
Tusi
Di
Indonesia, Secara informal ilmu ekonomi islam dikembangkan oleh elemen
masyarakat mulai dari mahasiswa, akademisi maupun para profesional. Diantaranya
adalah Internasional Institute of Islamic Thougt yang telah menyelenggarakan
Kuliah Informal ekonomi Islam di beberapa perguruan tinggi terkemuka di
Indonesia. Kuliah Informal Ekonomi Islam telah diselenggarakan di Universitas
Indonesia, Universitas Islam Negeri, Universitas Gajah Mada dan Universitas Brawijaya.[18][18]
Para
pemikir ekonomi Islam diwakili oleh tokoh-tokoh yang menulis buku ekonomi Islam
dan banyak dijadikan rujukan (dengan tidak mengesampingkan pemikir ekonomi
Islam yang lain) antara lain: Syafi’i Antonio, Dawan Rahardjo, Adiwarman Karim,
Suroso Imam Zadjuli, M. Akhyar Adnan, Muhammad. Seiring dengan perkembangan
pemikiran ekonomi Islam tersebut, beberapa perguruan tinggi yang mengawali
membuka pendidikan tinggi ekonomi Islam adalah UNAIR dengan S-3 ekonomi Islam,
UII dengan Ekonomi Islam di Magister Studi Islamnya (1997), Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Islam Tazkia, Sekolah Tinggi Ilmu Syariah dengan Jurusan Muamalahnya
(1997).
2.3 PERKEMBANGAN PRAKTIK EKONOMI ISLAM
Praktek perbankan di
zaman Rasulullah dan Sahabat telah terjadi karena telah ada lembaga-lembaga
yang melaksanakan fungsi-fungsi utama opersional perbankan, yakni:
1)
menerima simpanan uang;
2)
meminjamkan uang atau memberikan pembiayan dalam bentuk mudharabah, musyarakah,
muzara’ah dan musaqah;
3)
memberikan jasa pengiriman atau transfer uang.
Istilah-istilah fiqh di
bidang ini pun muncul dan diduga berpengaruh pada istilah teknis perbankan
modern, seperti istilah qard yang berarti pinjaman atau kredit menjadi bahasa
Inggris credit dan istilah suq jamaknya suquq yang dalam bahasa Arab harfiah
berarti pasar bergeser menjadi alat tukar dan ditransfer ke dalam bahasa
Inggris dengan sedikit perubahan menjadi check atau cheque dalam bahasa
Prancis.
Fungsi-fungsi
yang lazimnya dewasa ini dilaksanakan oleh perbankan telah dilaksanakan sejak
zaman Rasulullah hingga Abbasiyah. Istilah bank tidak dikenal zaman itu, akan
tetapi pelaksanaan fungsinya telah terlaksana dengan akad sesuai syariah.
Fungsi-fungsi itu di zaman Rasulullah dilaksanakan oleh satu orang yang
melaksanakan satu fungsi saja. Sedangkan pada zaman Abbasiyah, ketiga fungsi
tersebut sudah dilaksanakan oleh satu individu saja. Perbankan berkembang
setelah munculnya beragam jenis mata uang dengan kandungan logam mulia yang
beragam. Dengan demikian, diperluan keahlian khusus bagi mereka yang bergelut
di bidang pertukaran uang. Maka mereka yang mempunyai keahlian khusus itu
disebut naqid, sarraf, dan jihbiz[19][19]
yang kemudian menjadi cikal bakal praktek pertukaran mata uang atau money
changer.
Peranan
bankir pada masa Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Khalifah al-Muqtadir
(908-932).[20][20]
Sementara itu, suq (cek) digunakan secara luas sebagai media pembayaran.
Sejarah pebankan Islam mencatat Saefudaulah al-Hamdani sebagai orang pertama
yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Bagdad, Iraq dengan Alepo
(Spanyol).[21][21]
Mengingat
penting dan strategisnya institusi dan sistem perbankan untuk menggerakan roda
perekonomian, maka berbagai upaya dilakukan ahli ekonomi Islam. Pertengahan tahun
1940-an Malaysia mencoba membuka bank non bunga, namun tidak sukses. Akhir
tahun 1950-an Pakistan mencoba mendirikan lembaga perkreditan tanpa bunga di
pedesaan. Sedangkan uji coba yang relatif sukses dilakukan oleh Mesir dengan
mendirikan Mit Ghamr Local Saving Bank tahun 1963 yang disambut baik oleh
para petani dan masyarakat pedesaan. Namun, keberhasilan ini terhenti karena
masalah politik, yakni intervensi pemerintah Mesir. Dengan demikian,
operasional Mit Ghamr diambil alih oleh National Bank of Egypt dan Bank Sentral
Mesir (1967). Baru pada masa rezim Anwar Sadat (1971) sistim nirbunga
dihidupkan kembali dengan dibukanya Nasser Social Bank. Keberhasilan di atas
mengilhami para petinggi OKI hinga akhirnya berdirilah Islamic Development Bank
(IDB) bulan Oktober 1975
2.4 GERAKAN EKONOMI ISLAM DI INDONESIA
Akar
sejarah pemikiran dan aktivits ekonomi Islam Indonesia tak bisa lepas dari awal
sejarah masuknya Islam di negeri ini. Bahkan aktivitas ekonomi syariah di tanah
air tak terpisahkan dari konsepsi lingua franca. Menurut para pakar, mengapa
bahasa Melayu menjadi bahasa Nusantara, ialah karena bahasa Melayu adalah
bahasa yang populer dan digunakan dalam berbagai transaksi perdagangan di
kawasan ini. Para pelaku ekonomi pun didominasi oleh orang Melayu yang identik
dengan orang Islam. Bahasa Melayu memiliki banyak kosa kata yang berasal dari
bahasa Arab. Ini berarti banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep Islam dalam
kegiatan ekonomi. Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas ekonomi syariah tidak
dalam bentuk formal melainkan telah berdifusi dengan kebudayaan Melayu
sebagaimana terceriman dalam bahasanya. Namun demikian, penelitian khusus
tentang institusi dan pemikiran ekonomi syariah nampaknya belum ada yang
meminatinya secara khusus dan serius. Oleh karena itu, nampak kepada kita
adalah upaya dan gerakan yang dominan untuk penegakan syariah Islam dalam
kontek kehidupan politik dan hukum. Walaupun pernah lahir Piagam Jakarta dan
gagal dilaksanakan, akan tetapi upaya Islamisasi dalam pengertian penegakan
syariat Islam di Indonesia tak pernah surut.
Pemikiran
dan aktivitas ekonomi syariah di Indonesia akhir abad ke-20 lebih
diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan dan perbankan syariah. Salah
satu pilihanya adalah gerakan koperasi yang dianggap sejalan atau tidak
bertentangan dengan syariah Islam. Oleh karena itu, gerakan koperasi mendapat
sambutan baik oleh kalangan santri dan pondok pesantren. [22][22]
Kelahiran bank Islam di
Indonesia hari demi hari semakin kuat karena beberapa faktor:
1)
adanya kepastian hukum perbankan yang melindunginya;
2)
tumbuhnya kesadaran masayarakat manfaatnya lembaga keuangandanperbankan
syariah;
3)
dukungan politik atau political will dari pemerintah.
Akan
tetapi, kelahiran bank syariah di Indonesia tidak diimbangi dengan pendirian
lembaga-lembaga pendidikan perbankan syariah. Sejak tahun 1990-an ketika Dirjen
Bimbaga Islam Depag RI melakukan posisioning jurusan-jurusan di lingkungan
IAIN, penulis pernah mengusulkan kepada Menteri Agama dan para petinggi di
Depag RI agar mempersiapkan institusi untuk mengkaji kecenderungan dan
perkembangan ekonomi syariah di tanah air. Usaha maksimal saat itu ialah
memilah jurusan Muamalat/Jinayat pada Fakultas syariah IAIN menjadi dua, yakni
Jurusan Muamalat dan Jurusan Jinayah-Siyasah.
Maraknya
perbankan syariah di tanah air tidak diimbangi dengan lembaga pendidikan yang
memadai. Akibatnya, perbankan syariah di Indonesia baru pada Islamisasi nama
kelembagaanya. Belum Islamisasi para pelakunya secara individual dan secara
material. Maka tidak heran jika transaksi perbankan syariah tidak terlalu beda
dengan transaksi bank konvensional hanya saja ada konkordansi antra nilaisuku
bungan dengan nisbah bagihasil. Bahkan terkadang para pejabat bank tidak mau
tahu jika nasabahnya mengalami kerugian atau menurunya keuntungan. Mereka
“mematok” bagi hasil dengan rate yang benar-benar menguntungkan bagi pihak bank
secara sepihak. Di lain pihak, kadangkala ada nasabah yang bersedia
mendepositkan dananya di bank syariah dengan syarat meminta bagi hasilnya
minimal sama dengan bank konvensional milik pemerintah.[23][23] Terlepas dari kekurangan dan kelebihan
perbankan syariah, yang pasti dan faktual adalah bahwa ia telah memberikan
konstribusi yang berarti dan meaningfull bagi pergerakan roda perekonomian
Indonesia dan mengatasi krisis moneter.
DSN-MUI
sejak tahun 1997 sampai dengan tahun 2005 telah banyak mengeluarkan fatwa-fatwa
tentang ekonomi Islam (mu’amalah maliyah) untuk menjadi pedoman bagi para
pelaku ekonomi Islam khususnya perbankan syari’ah. Dalam metode penerbitan
fatwa dalam bidang mu’amalah maliyah diyakini menggunakan kempat sumber hukum
yang disepakati oleh ulama suni; yaitu Al-Quran al Karim, Hadis Nabawi, Ijma’
dan Qiyas, serta menggunakan salah satu sumber hukum yang masih diperselisihkan
oleh ulama; yaitu istihsan, istishab, dzari’ah, dan ‘urf.
Dalam
proses penerbitan fatwa diperkirakan mempelajari empat mazhab suni, yaitu imam
mazhab yang empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali disamping pertimbangan
lain yang bersifat temporal dan kondisional. Oleh karena itu, perlu mengkaji
secara seksama dan perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui sifat
fatwa-fatwa MUI dalam bidang ekonomi Islam dari segi metode perumusannya, sisi
ekonomi di sekelilingnya dan respons masyarakat terhadap fatwa-fatwa itu.[24][24]
Di
Indonesia, atas prakarsa Majelis Ulama Indonesia bersama kalangan pengusaha
muslim sejak 1992 telah beroperasi sebuah bank syari’ah, yaitu Bank Muamalat
Indonesia (BMI) yang sistem operasionalnya mengacu pada No. 72 tahun 1992
tentang bank bagi Hasil. Pada tahun 1998, disahkan Undang-undang RI No. 10
tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang perbankan. Secara
legal, perbankan syari’ah telah diakui sebagai subsistem perbankan nasional.
Di
tengah dinamika tumbuh dan berkembangnya lembaga keuangan syari’ah, pada tahun
1997 krisis ekonomi datang menerjang memporak-porandakan sistem perbankan
nasional. Sebagaimana diungkap oleh Warkum, mulai bulan Juli 1997 sampai dengan
13 Maret 1999 pemerintah menutup 55 bank, mengambil alih 11 bank (BTO) dan 9
bank lainnya dibantu melakukan rekapitalisasi. Pada Oktober 2001, sebagaimana
laporan Majalah Investasi[1][1] terjadi lagi satu bank konvensional yang
dibekukan atau Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). Dari 240 bank sebelum krisis,
kini hanya tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan
pemerintah.[1][2]
Di
antara lembaga keuangan syari’ah yang berkembang secara pesat di tengah sistem
perbankan yang sedang sakit adalah antara lain bank syari’ah, BPRS dan BMT.
Bank Syari’ah berkembang berdampingan dengan bank-bank konvensional. Hal tersebut
dibuktikan dengan munculnya Bank BNI Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah, Bank
Bukopin Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah, BII Syariah. Di samping itu berkembang
juga lembaga keuangan syari’ah yang bersifat mikro, yang bergerak di kalangan
ekonomi bawah, yaitu BMT (Baitul Maal wat-Tamwil).
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Baru
tiga dasawarsa menjelang abad 21, muncul kesadaran baru umat Islam untuk
mengembangkan kembali kajian ekonomi syari’ah. Ajaran Islam tentang ekonomi,
kembali mendapat perhatian serius dan berkembang menjadi disiplin ilmu yang
berdiri sendiri. Pada era tersebut lahir dan muncul para ahli ekonomi syariah
yang handal dan memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidang
mu’amalah. Sebagai realisasi dari ekonomi syariah, maka sejak tahun 1975
didirikanlah Internasional Development Bank ( IDB ) di Jeddah. Setelah itu, di
berbagai negara, baik negeri- negeri muslim maupun bukan, berkembang pula
lembaga – lembaga keuangan syariah.
Momentum
Indonesia Syariah Expo hendaknya bisa menyentakkan dan membuka mata pemerintah
untuk melirik dan menerapkan ekonomi syariah sebagai solusi perekonomian
Indonesia. Pemerintah harus melihat ekonomi syari’ah dalam konteks
penyelamatan ekonomi Nasional. Sehubungan dengan itu, pembentukan Dewan Ekonomi
Nasional (DEN) perlu kembali diwujudkan dengan memasukkan para pakar ekonomoi
syariah di dalamnya. Ekonomi syariah di Indonesia telah menunjukkan
ketangguhannya di masa krisis dan lagi pula dalam praktek perekonomian di
Indonesia selama ini, Indonesia sudah menerapkan dual system, yakni
konvensional dan sistem ekonomi syari’ah, terutama yang berkaitan dengan
lembaga perbankan dan keuangan.
3.2 SARAN
1)
Semoga makalah yang dibuat oleh penyusun ada manfaatnya bagi pembaca khususnya
bagi penulis.
2)
Ekonomi syariah islam telah terbukti dalam membangun ekonomi nasional jadi
pemerintah harus segera mempergunakan system ekonomi islam untuk mencapai
keadilan dan kemakmuran bagi rakyat.
3)
Pemerintah jangan menghilangkan system ekonomi islam pada era sekarang ini
melainkan harus terus menjaga ekonomi syariah islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abu ‘Ubayd al-Qasim bn
Sallam. 1981. Al-Amwa’l. Beirut Libanon. Mu’assassat al-Nashir.
Abu al-Hasan ‘Ali bin
Muhammad bin Habib al-Bashriy al-Bagdady al-Mawardy, t.t. al-Ahkam
al-Sulthaniyyah, Dar al-Fikr, Beirut.
Adiwarman A. Karim,
Refleksi dan Proyeksi Ekonomi Islam Indonesia. At-Tariqi, Abdullah Abdul
Husain. Ekonomi Islam: Prinsip, Dasar dan Tujuan. (Yogyakarta: Magistra Insania
Press, 2004)
Cf. The Muqaddimah yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dri bhasaArab oleh Franz Rosenthal (3
jilid) diterbitkan oleh Bollingen Foundation Inc., New York
Dawam Raharjo,
Menegakan Syariat Islam di Bidang Ekonomi, dalam Adiwarman Karim, Bank Islam:
analisis fiqh dan Keuangan, IIIT Indonesia, Jakarta, 2003
Fakta penerimaan
kalangan santri, antara lain, berdirinya Induk Koperasi Pondok Pesantren
(INKOPONTREN) di Jakarta tahun 1996 oleh Puskopontren Jawa Barat, DKI, DI
Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perkembangan Kopontren semakin menjamur
setelah digulirkanya proyek P2KR (Proyek Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
(baca:Pessantren) oleh BAPPENAS, 1998
Heri Sudarsono, Konsep
Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Ekonisia, 2002), hal. 149. Penulis
buku ini menkompilasi dari Sumber M. Najatullah Siddiqi (1995), M. Aslam
Hannaef (1995), dan A. Karim (2001).
Ibn Taymiyyah,
al-Hisbah fi al-Islam, [nd.] Cf. Juhaya S Praja, al-Hisbah sebagai Bentuk
Intervensi Pemerintah dalam Mekanisme Pasar, makalah disajikan dalam Seminar
Nasional yang diselenggarakan bersama oleh Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia (UII) Yogyakarta dengan BAPPEBTI Deperindag RI Jakarta, di Hotel
Radison Yogyakarta, November, 1999.
M Cholil Nafis. Corak
Pemikiran Hukum Ekonomi Islam di Indonesia. Diakses dari
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=245626&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=217
tanggal 30 Nov 2006.
[1][1]mūd Abū Su’ūd, Marshal sebagaimana dikutip oleh Mah ād
al-Islāmiyy%ut Ra’isiyyah fī al-Iqtis Khut, (Maktabat al-Manār al-Islāmiyyah,
Kuwait,1968), hal. 56.
[3][3] At-Tariqi, Abdullah Abdul Husain. Ekonomi Islam: Prinsip,
Dasar dan Tujuan. (Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004), hal. 26
[4][4]Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar,
(Yogyakarta: Ekonisia, 2002), hal. 149. Penulis buku ini menkompilasi dari
Sumber M. Najatullah Siddiqi (1995), M. Aslam Hannaef (1995), dan A. Karim
(2001).
[5][5]Ibid.,
hal. 5-7.
[6][6]
Muhammad Abu Zahrah, Abu`Hani`fah, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby [nd].,
hal. 404-410, 432-442, 539.
[7][7] Shobhi Mahmashani, al-Awza’i:
Ta’limuhu al-Insaniyyah wa al-Qa`nuniyyah, Beirut, Dar al- ‘Ilmli
al-Mala’in, 1978, hal. 426, 314-318, 447.
[8][8]
Muhammad Abu Zahrah, Ma`lik, Cairo, Dar al-Fikr al-‘Araby, 1952, hal.
73-74, 335-383, 432.
[9][9]
Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, h. 24
[10][10] al-Qadli AbuYusuf Ya’qub
Ibrahim (112-182H), Kitab al-Kharaj, Muhib al-Din al-Khatib, [nd.]
[11][11] Ibn
Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam, [nd.] Cf. Juhaya S Praja, al-Hisbahsebagai
Bentuk Intervensi Pemerintah dalam Mekanisme Pasar, makalah disajikan dalam
Seminar Nasional yang diselenggarakan bersama oleh Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dengan BAPPEBTI Deperindag RI Jakarta, di
Hotel Radison Yogyakarta, November, 1999.
[12][12]
[13][13] Zainal
Abidin Ahmad, Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal.
242-250.
[14][14] Abu
‘Ubayd al-Qasim bn Sallam (157-224H/774-738M) dalam kitabnya, al-Amwa’l,
Mu’assassat al-Nashir, Beirut, Libanon, cet.i, 1981
[15][15]
Zainal Abidin Ahmad, Dasar., hal.251-274.
[17][17] Abu
al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashriy al-Bagdady al-Mawardy, al-Ahka`m
al-Sultha`niyyah, Dar al-Fikr, Beirut [nd].
[18][18] Ibn
Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam,
[19][19]Adiwarman A. Karim, Refleksi dan Proyeksi Ekonomi Islam
Indonesia. Diakses dari
http://www.dilibrary.net/images/topics/Materi%20-%20Adiwarman.pdf. Tanggal 30
Januari 2007.
[20][20]
Istilah jihbiz mulai dikenal pada masa Muawiyah (661-680M). Istilah ini
dipinjam dari bahasa Persia kahbad atau kihbud. Pada masa
pemerintahan Sasanid, istilah jihbiz digunakan untuk orang yang
melaksanakan fungsi dan tugas mengumpulkan pajak tanah.
[21][21] Pada
masa ini setiap wazir (menteri) mempunyai bankirnya masing-masing. Misalnya:
Ibnu Furat menunjuk Harun Ibnu Imran dan Josep Ibnu Wahab sebagai bankirnya.
[22][22]
Fakta penerimaan kalangan santri, antara lain, berdirinya Induk Koperasi Pondok
Pesantren (INKOPONTREN) di Jakarta tahun 1996 oleh Puskopontren Jawa Barat,
DKI, DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perkembangan Kopontren semakin
menjamur setelah digulirkanya proyek P2KR (Proyek Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
(baca:Pessantren) oleh BAPPENAS, 1998
[23][23] Data diperoleh dari
nasabah dan investigasi penulis terhadap Bank Syariah Lembur Kuring (nama
samaran)
[24][24] M Cholil Nafis. Corak
Pemikiran Hukum Ekonomi Islam di Indonesia. Diakses dari http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=245626&kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=217
tanggal 30 Nov 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar