Sabtu, 11 Juni 2016

Konsumsi dalam Islam

Prinsip ekonomi dalam Islam yang disyariatkan adalah agar tidak hidup bermewah-mewah, tidak berusaha pada kerja-kerja yang dilarang, membayar zakat dan menjauhi riba, merupakan rangkuman dari akidah, akhlak dan syariat Islam yang menjadi rujukan dalam pengembangan sistem ekonomi Islam. Nilai-nilai moral tidak hanya bertumpu pada aktifitas individu tapi juga pada interaksi secara kolektif, bahkan keterkaitan antara individu dan kolektif tidak bisa didikotomikan. Individu dan kolektif menjadi keniscayaan nilai yang harus selalu hadir dalam pengembangan sistem, terlebih lagi ada kecenderungan nilai moral dan praktek yang mendahulukan kepentingan kolektif dibandingkan kepentingan individual.
Dalam pendekatan ekonomi Islam, konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penawaran atau penyediaan. Perbedaan ilmu ekonomi konvensional dan ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi konvensional.
Islam adalah agama yang ajarannya mengatur segenap perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian pula dalam masalah konsumsi, Islam mengatur bagaimana manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa manusia berguna bagi kemas}lahatan hidupnya. Seluruh aturan Islam mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah ini akan membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya.
Syari’at Islam menginginkan manusia mencapai dan memelihara kesejahteraannya. Imam Shatibi menggunakan istilah ‚mas}lahah‛, yang maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Mas}lahah merupakan sifat atau kemampuan barang. dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan-tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini.
Menurut Imam Al-Ghazali mengatakan ada lima kebutuhan dasar yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan kesejahteraan masyarakat tergantung pada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan, yaitu:3
a. Kehidupan atau jiwa (al nafs),
b. Properti atau harta (al-ma@l),
c. Keyakinan (al-di@n),
d. Intelektual (al-aql),
e. Keluarga atau keturunan (al-nasl).
Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut pada setiap individu, itulah yang disebut dengan mas}lahah. Aktivitas ekonomi meliputi produksi, konsumsi dan pertukaran yang menyangkut mas}lahah tersebut harus dikerjakan sebagai religious duty atau ibadah. Tujuannya bukan hanya kepuasan di dunia saja tetapi juga kesejahteraan diakhirat (fala@h). Semua aktivitas tersebut memiliki mas}lahah bagi umat manusia disebut ‚needs‛ (kebutuhan), dan semua kebutuhan itu harus terpenuhi. Mencukupi kebutuhan dan bukan memenuhi kebutuhan/keinginan adalah tujuan dari aktivitas ekonomi Islam, dan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam beragama. Tujuan konsumsi seorang muslim bukanlah mencari utility, melainkan mencari mas}lahah. Antara konsep utility dan mas}lahah sangat berbeda dan bertolak.
B. Etika Konsumsi dalam Ekonomi Islam
Sementara dalam Islam ada beberapa etika ketika seorang muslim berkonsumsi :
1. Prinsip Keadilan
Berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kedzaliman, harus berada dalam koridor aturan atau hukum agama serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan. Islam memiliki berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah:173
Artinya:
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S al-Baqarah:173)
2. Prinsip Kebersihan
Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat merusak fisik dan mental manusia, sementara dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu saja benda yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan kemubadziran atau bahkan merusak.
3. Prinsip Kesederhanaan
Sikap berlebih-lebihan (isra>f) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan pangkal dari berbagai kerusakan di muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini mengandung makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung memperturutkan hawa nafsu atau sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri. Islam menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi kebutuhan manusia sehingga
tercipta pola konsumsi yang efesien dan efektif secara individual maupun sosial. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat al-A’raaf:31
Artinya:
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan (Q.S al-A’raaf:31).
4. Prinsip Kemurahan hati
Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi benda-benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena kemurahan-Nya. Karena Islam adalah agama yang sangat mendukung nilai-nilai sosial, Selama konsumsi ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan dan peran manusia untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT, maka Allah akan memberikan anugerah-Nya bagi manusia. Sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Maidah:
Artinya:
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan (QS. al-Maidah:96).
5. Prinsip Moralitas
Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus dibingkai oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata-mata memenuhi segala kebutuhan.9 Sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah:
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir (Q.S al-Baqarah:219)
C. Perilaku Konsumen dalam Ekonomi Islam
Ada beberapa karakteristik konsumsi dalam perspektif ekonomi Islam, di antaranya adalah:11
1.      Konsumsi bukanlah aktifitas tanpa batas, melainkan juga terbatasi oleh sifat kehalalan dan keharaman yang telah digariskan oleh syara', sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Maidah ayat 87: ۚ
Artinya:
‚Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas‛ (QS. al-Maidah: 87).
2.      Konsumen yang rasional (mustahli@k al-aqlani) senantiasa membelanjakan pendapatan pada berbagai jenis barang yang sesuai dengan kebutuhan jasmani maupun rohaninya. Cara seperti ini dapat mengantarkannya pada keseimbangan hidup yang memang menuntut keseimbangan kerja dari seluruh potensi yang ada, mengingat, terdapat sisi lain di luar sisi ekonomi yang juga butuh untuk berkembang.13 Karakteristik ini didasari atas fiman Allah dalam QS. al-Nisa’ ayat 5:
Artinya
‚Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik (Q.S An-Nisa’:5).
Islam sangat memberikan penekanan tentang cara membelanjakan harta, dalam Islam sangat dianjurkan untuk menjaga harta dengan hati-hati termasuk menjaga nafsu supaya tidak terlalu berlebihan dalam menggunakan. Dengan demikian kepuasan dan prilaku konsumen dipengaruhi oleh hal-hak sebagai berikut:15 a) Nilai guna (utility) barang dan jasa yang dikonsumsi. Kemampuan barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen. b) Kemampuan konsumen untuk mendapatkan barang dan jasa. Daya beli dari income konsumen dan ketersediaan barang dipasar. c) Kecenderungan Konsumen dalam menentukan pilihan konsumsi menyangkut pengalaman masa lalu, budaya, selera, serta nilai-nilai yang dianut seperti agama dan adat istiadat.
3.      Menjaga keseimbangan konsumsi dengan bergerak antara ambang batas bawah dan ambang batas atas dari ruang gerak konsumsi yang diperbolehkan dalam ekonomi Islam (must}awa@ al-kifa@yah). Must}awa@ al-kifa@yah adalah ukuran, batas maupun ruang gerak yang tersedia bagi konsumen muslim untuk menjalankan aktifitas konsumsi. Dibawah mustawa kifayah, seseorang akan masuk pada kebakhilan, kekikiran, kelaparan hingga berujung pada kematian. Sedangkan di atas must}awa al-kifa@yah seseorang akan terjerumus pada tingkat yang berlebih-lebihan (must}awa@ isra@f, tabdz#ir dan tara@f). Kedua tingkatan ini dilarang di dalam Islam.
4.      Memperhatikan prioritas konsumsi antara d}aruriyat, hajiyat dan takmiliyat. D{aruriyat adalah komoditas yang mampu memenuhi kebutuhan paling mendasar konsumen muslim, yaitu, menjaga keberlangsungan agama (hifz} al-di@n), jiwa (hifz} al-nafs), keturunan (hifz} al-nasl), hak kepemilikan dan kekayaan (hifz} al-ma@l), serta akal pikiran (hifz} al-‘aql). Sedangkan hajiyat adalah komoditas yang dapat menghilangkan kesulitan dan juga relatif berbeda antara satu orang dengan yang lainnya, seperti luasnya tempat tinggal, baiknya kendaraan dan sebagainya. Sedangkan takmiliyat adalah komoditi pelengkap yang dalam penggunaannya tidak boleh melebihi dua prioritas konsumsi diatas.
D. Prinsip Dasar Perilaku Konsumen Islami
Prinsip dasar perilaku konsumen Islami diantaranya:
1.      prinsip syariah; yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari: (a) Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan untuk beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk dan khalifah yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh Pencipta. (b) Prinsip ilmu, yaitu seseorang ketika akan mengkonsumsi harus mengetahui ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya. (c) Prinsip ‘amaliyah, sebagai konsekuensi aqidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi Islami tersebut, seseorang dituntut untuk menjalankan apa yang sudah diketahui, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang haram dan syubhat.
2.      prinsip kuantitas; yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam syariat Islam. Salah satu bentuk prinsip kuantitas ini adalah kesederhanaan, yaitu mengkonsumsi secara proporsional tanpa menghamburkan harta, bermewah-mewah, mubadzir, namun tidak juga pelit. Menyesuaikan antara pemasukan dan pengeluaran juga merupakan perwujudan prinsip kuantitas dalam konsumsi. Artinya, dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang. Selain itu, bentuk prinsip kuantitas lainnya adalah menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.
3.      prinsip prioritas; yaitu memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu: (1) primer, adalah konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok; (2) sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik, jika tidak terpenuhi maka manusia akan mengalami kesusahan; (3) tersier, yaitu konsumsi pelengkap manusia
4.      prinsip sosial; yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya: (1) kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sehingga Islam mewajibkan zakat bagi yang mampu juga menganjurkan shadaqah, infaq dan wakaf; (2) keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi baik dalam keluarga atau masyarakat; dan (3) tidak membahayakan/merugikan dirinya sendiri dan orang lain dalam mengkonsumsi sehingga tidak menimbulkan kemudharatan seperti mabuk-mabukan, merokok, dan sebagainya.
5.      kaidah lingkungan; yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi daya dukung sumber daya alam dan keberlanjutannya atau tidak merusak lingkungan. Seorang muslim dalam penggunaan penghasilannya memiliki dua sisi, yaitu pertama untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya dan sebagiannya lagi untuk dibelanjakan di jalan Allah.
Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia. Keimanan sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan material maupun spiritual. Batasan konsumsi dalam Islam tidak hanya memperhatikan aspek halal-haram saja tetapi termasuk pula yang diperhatikan adalah yang baik, cocok, bersih, tidak menjijikan. Larangan isyra@f dan larangan bermegah-megahan. Begitu pula batasan konsumsi dalam syari’at Islam tidak hanya berlaku pada makanan dan minuman saja, tetapi juga mencakup jenis-jenis komoditi lainnya. Pelarangan atau pengharaman konsumsi untuk suatu komoditi bukan tanpa sebab Konsumsi dalam Islam tidak hanya untuk materi saja tetapi juga termasuk konsumsi sosial yang terbentuk dalam zakat dan s}odaqoh. Dalam al-Qur’an dan hadits disebutkan bahwa pengeluaran zakat dan s}odaqoh mendapat kedudukan penting dalam Islam. Sebab hal ini dapat memperkuat sendi-sendi sosial masyarakat seperti zakat dan shadaqoh.
E. Batasan Konsumsi dalam Syari’ah
Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia. Keimanan sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan material maupun spiritual.
Batasan konsumsi dalam Islam tidak hanya memperhatikan aspek halal-haram saja tetapi termasuk pula yang diperhatikan adalah yang baik, cocok, bersih, tidak menjijikan, larangan israf dan larangan bermegah-megahan. Karena Perhitungan antara pendapatan, konsumsi dan simpanan sebaiknya ditetapkan atas dasar keadilan sehingga tidak melampaui batas dengan terjebak pada sifat boros (tabz#ir) maupun kikir (bakhi@l), sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat ar-Rahman (55) ayat 7-9:
Artinya :
Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu (Q.S ar-Rahman (55): 7-9).
Secara umum dapat dibedakan antara kebutuhan dan keinginan sebagaimana dalam tabel berikut.
                                               
Karakteristik

Keinginan
Kebutuhan
Sumber
Hasrat (nafsu)
Fitrah manusia

Hasil

Kepuasan

Manfaat & berkah

Ukuran

Prefrensi/selera

Fungsi

Sifat

Subjektif

Objektif

Tuntunan Islam
Dibatasi/dikendalikan
Dipenuhi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar