Prinsip
ekonomi dalam Islam yang disyariatkan adalah agar tidak hidup bermewah-mewah,
tidak berusaha pada kerja-kerja yang dilarang, membayar zakat dan menjauhi
riba, merupakan rangkuman dari akidah, akhlak dan syariat Islam yang menjadi
rujukan dalam pengembangan sistem ekonomi Islam. Nilai-nilai moral tidak hanya
bertumpu pada aktifitas individu tapi juga pada interaksi secara kolektif,
bahkan keterkaitan antara individu dan kolektif tidak bisa didikotomikan.
Individu dan kolektif menjadi keniscayaan nilai yang harus selalu hadir dalam
pengembangan sistem, terlebih lagi ada kecenderungan nilai moral dan praktek
yang mendahulukan kepentingan kolektif dibandingkan kepentingan individual.
Dalam pendekatan
ekonomi Islam, konsumsi adalah permintaan sedangkan produksi adalah penawaran
atau penyediaan. Perbedaan ilmu ekonomi konvensional dan ekonomi Islam dalam
hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan
seseorang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola
konsumsi konvensional.
Islam
adalah agama yang ajarannya mengatur segenap perilaku manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Demikian pula dalam masalah konsumsi, Islam mengatur
bagaimana manusia dapat melakukan kegiatan-kegiatan konsumsi yang membawa
manusia berguna bagi kemas}lahatan hidupnya. Seluruh aturan Islam mengenai
aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Perilaku konsumsi
yang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah ini akan membawa pelakunya
mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya.
Syari’at
Islam menginginkan manusia mencapai dan memelihara kesejahteraannya. Imam
Shatibi menggunakan istilah ‚mas}lahah‛, yang maknanya lebih luas dari sekedar
utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Mas}lahah
merupakan sifat atau kemampuan barang. dan jasa yang mendukung elemen-elemen
dan tujuan-tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini.
Menurut Imam Al-Ghazali
mengatakan ada lima kebutuhan dasar yang sangat bermanfaat bagi kehidupan
manusia dan kesejahteraan masyarakat tergantung pada pencarian dan pemeliharaan
lima tujuan, yaitu:3
a. Kehidupan atau jiwa
(al nafs),
b. Properti atau harta
(al-ma@l),
c. Keyakinan (al-di@n),
d. Intelektual
(al-aql),
e.
Keluarga atau keturunan (al-nasl).
Semua
barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut
pada setiap individu, itulah yang disebut dengan mas}lahah. Aktivitas ekonomi
meliputi produksi, konsumsi dan pertukaran yang menyangkut mas}lahah tersebut
harus dikerjakan sebagai religious duty atau ibadah. Tujuannya bukan hanya
kepuasan di dunia saja tetapi juga kesejahteraan diakhirat (fala@h). Semua
aktivitas tersebut memiliki mas}lahah bagi umat manusia disebut ‚needs‛
(kebutuhan), dan semua kebutuhan itu harus terpenuhi. Mencukupi kebutuhan dan
bukan memenuhi kebutuhan/keinginan adalah tujuan dari aktivitas ekonomi Islam,
dan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam beragama.
Tujuan konsumsi seorang muslim bukanlah mencari utility, melainkan mencari
mas}lahah. Antara konsep utility dan mas}lahah sangat berbeda dan bertolak.
B. Etika Konsumsi dalam Ekonomi Islam
Sementara
dalam Islam ada beberapa etika ketika seorang muslim berkonsumsi :
1. Prinsip
Keadilan
Berkonsumsi
tidak boleh menimbulkan kedzaliman, harus berada dalam koridor aturan atau
hukum agama serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan. Islam memiliki
berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak
boleh dikonsumsi. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an Surat
al-Baqarah:173
Artinya:
Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang
(ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam
keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. (Q.S al-Baqarah:173)
2. Prinsip
Kebersihan
Bersih
dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat merusak
fisik dan mental manusia, sementara dalam arti luas adalah bebas dari segala
sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu saja benda yang dikonsumsi memiliki manfaat
bukan kemubadziran atau bahkan merusak.
3. Prinsip
Kesederhanaan
Sikap
berlebih-lebihan (isra>f) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan pangkal
dari berbagai kerusakan di muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini mengandung
makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung memperturutkan hawa
nafsu atau sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri.
Islam menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi
kebutuhan manusia sehingga
tercipta
pola konsumsi yang efesien dan efektif secara individual maupun sosial.
Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat al-A’raaf:31
Artinya:
Hai anak
Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan (Q.S al-A’raaf:31).
4. Prinsip
Kemurahan hati
Dengan
mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi
benda-benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena kemurahan-Nya.
Karena Islam adalah agama yang sangat mendukung nilai-nilai sosial, Selama
konsumsi ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi
kehidupan dan peran manusia untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT, maka
Allah akan memberikan anugerah-Nya bagi manusia. Sebagaimana Allah berfirman
dalam al-Qur’an surat al-Maidah:
Artinya:
Dihalalkan
bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai
makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan
diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram.
Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan (QS.
al-Maidah:96).
5. Prinsip Moralitas
Pada
akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus dibingkai oleh
moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata-mata memenuhi segala
kebutuhan.9 Sebagaimana Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah:
Artinya:
Mereka bertanya kepadamu
tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang
besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah:
"Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir (Q.S al-Baqarah:219)
C. Perilaku Konsumen dalam Ekonomi Islam
Ada beberapa
karakteristik konsumsi dalam perspektif ekonomi Islam, di antaranya adalah:11
1. Konsumsi
bukanlah aktifitas tanpa batas, melainkan juga terbatasi oleh sifat kehalalan
dan keharaman yang telah digariskan oleh syara', sebagaimana firman Allah dalam
QS. al-Maidah ayat 87: ۚ
Artinya:
‚Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan
bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas‛ (QS. al-Maidah: 87).
2. Konsumen
yang rasional (mustahli@k al-aqlani) senantiasa membelanjakan pendapatan pada
berbagai jenis barang yang sesuai dengan kebutuhan jasmani maupun rohaninya.
Cara seperti ini dapat mengantarkannya pada keseimbangan hidup yang memang
menuntut keseimbangan kerja dari seluruh potensi yang ada, mengingat, terdapat
sisi lain di luar sisi ekonomi yang juga butuh untuk berkembang.13
Karakteristik ini didasari atas fiman Allah dalam QS. al-Nisa’ ayat 5:
Artinya
‚Dan
janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok
kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik (Q.S An-Nisa’:5).
Islam
sangat memberikan penekanan tentang cara membelanjakan harta, dalam Islam
sangat dianjurkan untuk menjaga harta dengan hati-hati termasuk menjaga nafsu
supaya tidak terlalu berlebihan dalam menggunakan. Dengan demikian kepuasan dan
prilaku konsumen dipengaruhi oleh hal-hak sebagai berikut:15 a) Nilai guna
(utility) barang dan jasa yang dikonsumsi. Kemampuan barang dan jasa untuk
memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen. b) Kemampuan konsumen untuk
mendapatkan barang dan jasa. Daya beli dari income konsumen dan ketersediaan
barang dipasar. c) Kecenderungan Konsumen dalam menentukan pilihan konsumsi
menyangkut pengalaman masa lalu, budaya, selera, serta nilai-nilai yang dianut
seperti agama dan adat istiadat.
3. Menjaga
keseimbangan konsumsi dengan bergerak antara ambang batas bawah dan ambang
batas atas dari ruang gerak konsumsi yang diperbolehkan dalam ekonomi Islam
(must}awa@ al-kifa@yah). Must}awa@ al-kifa@yah adalah ukuran, batas maupun
ruang gerak yang tersedia bagi konsumen muslim untuk menjalankan aktifitas
konsumsi. Dibawah mustawa kifayah, seseorang akan masuk pada kebakhilan,
kekikiran, kelaparan hingga berujung pada kematian. Sedangkan di atas must}awa
al-kifa@yah seseorang akan terjerumus pada tingkat yang berlebih-lebihan
(must}awa@ isra@f, tabdz#ir dan tara@f). Kedua tingkatan ini dilarang di dalam
Islam.
4. Memperhatikan
prioritas konsumsi antara d}aruriyat, hajiyat dan takmiliyat. D{aruriyat adalah
komoditas yang mampu memenuhi kebutuhan paling mendasar konsumen muslim, yaitu,
menjaga keberlangsungan agama (hifz} al-di@n), jiwa (hifz} al-nafs), keturunan
(hifz} al-nasl), hak kepemilikan dan kekayaan (hifz} al-ma@l), serta akal
pikiran (hifz} al-‘aql). Sedangkan hajiyat adalah komoditas yang dapat
menghilangkan kesulitan dan juga relatif berbeda antara satu orang dengan yang
lainnya, seperti luasnya tempat tinggal, baiknya kendaraan dan sebagainya.
Sedangkan takmiliyat adalah komoditi pelengkap yang dalam penggunaannya tidak
boleh melebihi dua prioritas konsumsi diatas.
D. Prinsip Dasar Perilaku Konsumen Islami
Prinsip dasar perilaku konsumen Islami
diantaranya:
1. prinsip
syariah; yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan
konsumsi di mana terdiri dari: (a) Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi
adalah sebagai sarana untuk ketaatan untuk beribadah sebagai perwujudan
keyakinan manusia sebagai makhluk dan khalifah yang nantinya diminta
pertanggungjawaban oleh Pencipta. (b) Prinsip ilmu, yaitu seseorang ketika akan
mengkonsumsi harus mengetahui ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan
hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau
haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya. (c) Prinsip ‘amaliyah,
sebagai konsekuensi aqidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi
Islami tersebut, seseorang dituntut untuk menjalankan apa yang sudah diketahui,
maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang haram dan
syubhat.
2. prinsip
kuantitas; yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan
dalam syariat Islam. Salah satu bentuk prinsip kuantitas ini adalah
kesederhanaan, yaitu mengkonsumsi secara proporsional tanpa menghamburkan
harta, bermewah-mewah, mubadzir, namun tidak juga pelit. Menyesuaikan antara
pemasukan dan pengeluaran juga merupakan perwujudan prinsip kuantitas dalam
konsumsi. Artinya, dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang
dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang. Selain itu, bentuk prinsip
kuantitas lainnya adalah menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan
digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan
kekayaan itu sendiri.
3. prinsip
prioritas; yaitu memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan
agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu: (1) primer, adalah konsumsi dasar yang
harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya
dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok; (2)
sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup
yang lebih baik, jika tidak terpenuhi maka manusia akan mengalami kesusahan;
(3) tersier, yaitu konsumsi pelengkap manusia
4. prinsip
sosial; yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta
keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya: (1) kepentingan umat, yaitu
saling menanggung dan menolong sehingga Islam mewajibkan zakat bagi yang mampu
juga menganjurkan shadaqah, infaq dan wakaf; (2) keteladanan, yaitu memberikan
contoh yang baik dalam berkonsumsi baik dalam keluarga atau masyarakat; dan (3)
tidak membahayakan/merugikan dirinya sendiri dan orang lain dalam mengkonsumsi
sehingga tidak menimbulkan kemudharatan seperti mabuk-mabukan, merokok, dan
sebagainya.
5. kaidah
lingkungan; yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi daya
dukung sumber daya alam dan keberlanjutannya atau tidak merusak lingkungan.
Seorang muslim dalam penggunaan penghasilannya memiliki dua sisi, yaitu pertama
untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya dan sebagiannya lagi untuk
dibelanjakan di jalan Allah.
Dalam
Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan
menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang
cenderung mempengaruhi kepribadian manusia. Keimanan sangat mempengaruhi
kuantitas dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan material maupun
spiritual. Batasan konsumsi dalam Islam tidak hanya memperhatikan aspek
halal-haram saja tetapi termasuk pula yang diperhatikan adalah yang baik,
cocok, bersih, tidak menjijikan. Larangan isyra@f dan larangan
bermegah-megahan. Begitu pula batasan konsumsi dalam syari’at Islam tidak hanya
berlaku pada makanan dan minuman saja, tetapi juga mencakup jenis-jenis
komoditi lainnya. Pelarangan atau pengharaman konsumsi untuk suatu komoditi
bukan tanpa sebab Konsumsi dalam Islam tidak hanya untuk materi saja tetapi
juga termasuk konsumsi sosial yang terbentuk dalam zakat dan s}odaqoh. Dalam
al-Qur’an dan hadits disebutkan bahwa pengeluaran zakat dan s}odaqoh mendapat
kedudukan penting dalam Islam. Sebab hal ini dapat memperkuat sendi-sendi
sosial masyarakat seperti zakat dan shadaqoh.
E. Batasan Konsumsi dalam Syari’ah
Dalam
Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan
menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang
cenderung mempengaruhi kepribadian manusia. Keimanan sangat mempengaruhi
kuantitas dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan material maupun
spiritual.
Batasan
konsumsi dalam Islam tidak hanya memperhatikan aspek halal-haram saja tetapi
termasuk pula yang diperhatikan adalah yang baik, cocok, bersih, tidak
menjijikan, larangan israf dan larangan bermegah-megahan. Karena Perhitungan
antara pendapatan, konsumsi dan simpanan sebaiknya ditetapkan atas dasar
keadilan sehingga tidak melampaui batas dengan terjebak pada sifat boros
(tabz#ir) maupun kikir (bakhi@l), sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat
ar-Rahman (55) ayat 7-9:
Artinya :
Dan
Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya
kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan Tegakkanlah timbangan itu
dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu (Q.S ar-Rahman (55): 7-9).
Secara umum dapat
dibedakan antara kebutuhan dan keinginan sebagaimana dalam tabel berikut.
Karakteristik
|
Keinginan
|
Kebutuhan
|
Sumber
|
Hasrat
(nafsu)
|
Fitrah
manusia
|
Hasil
|
Kepuasan
|
Manfaat
& berkah
|
Ukuran
|
Prefrensi/selera
|
Fungsi
|
Sifat
|
Subjektif
|
Objektif
|
Tuntunan
Islam
|
Dibatasi/dikendalikan
|
Dipenuhi
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar